"Pulanglah ke kos-kosan. Rasman ada di sini sekarang. Ia ingin bertemu denganmu," tutur bibiku.
Sontak saja, aku terkejut mendengar kabar itu. Perasaanku pun jadi campur aduk. "Baiklah. Aku akan segera ke situ."
"Cepat-cepat, ya,” pintanya. “Ia
sudah akan pulang ke kota seberang sore nanti."
"Oke." Aku lalu menutup sambungan
telepon.
Cepat-cepat, aku kemudian menunggangi
sepeda motorku dan segera memacunya. Aku sungguh tak sanggup menyepelekan permintaan
bibiku yang begitu banyak membantu keperluan hidupku selama ini, apalagi untuk
bertemu dengan Rasman, teman lamaku.
Kalau bukan karena bibiku itu, aku mungkin akan hidup dalam kemalangan. Paling tidak, aku akan gagal mendapatkan gelar sarjana.
Jangankan untuk menanggung ongkos kuliah di tengah kota, untuk makan saja, mungkin aku tak sanggup.
Tetapi atas kemurahan hatinya, ia bersedia
menampung aku di rumahnya. Ia pun menjamin makanku, hingga menanggung sebagian
biaya kuliahku kalau uang ayahku sedang tidak mencukupi.
Aku memang sangat beruntung memiliki seorang bibi sepertinya. Ia hidup cukup mapan dan memiliki sebuah rumah berlantai dua yang juga merupakan kos-kosan dengan total dua puluh pintu.
Bangunan yang kemudian menjadi sumber pendapatannya itu, merupakan peninggalan almarhum suaminya yang dahulu bekerja sebagai karyawan bank.
Dengan usaha itulah, ia
bisa melanjutkan kehidupannya tanpa harus melakukan pekerjaan tambahan.
Penghasilan bibiku dari kos-kosan, memang tidak melimpah ruah. Tetapi itu sudah cukup banyak baginya, sebab ia hanya memiliki seorang anak yang telah sukses menjadi karyawan perusahaan pengembang di pulau seberang.
Karena itulah, ia sanggup menanggung kebutuhan hidupku
selama kuliah di tengah kemiskinan ayahku yang merupakan saudara kandungnya,
yang sekadar hidup dari hasil pertanian kacang tanah yang memprihatinkan.
Sebagai balas budiku atas kebaikannya, aku pun menganggap bibiku itu layaknya ibuku sendiri. Aku selalu sedia membantunya dalam segala hal, termasuk dalam mengelola usaha kos-kosannya yang juga merupakan tempat tinggalku itu.
Akulah yang kemudian menjadi pengelola
kos-kosannya tersebut di tengah kebiasaannya pergi ke pulau seberang dan
menginap dalam waktu yang lama di rumah putranya yang telah memiliki istri dan
anak.
Pada akhirnya, operasional kos-kosan itu, berada di dalam kendali penuhku. Selain menjaga dan mengontrol kondisi bangunan, kebersihan lingkungan, serta keamanan, aku juga mendapatkan kepercayaannya untuk mengumpulkan uang sewa dari para penghuni kos-kosan.
Setiap
kali ada penghuni dengan masa sewa yang jatuh tempo, aku akan melakukan
penagihan, kemudian melaporkan dan menyerahkan uang hasil pengumpulanku kepadanya.
Pada waktu kemudian, atas kepercayaannya, aku makin bebas mengelola kos-kosan itu. Aku jadi tak perlu lagi memperinci laporan, dan ia merasa tak perlu juga untuk menyidikku.
Yang biasa kulakukan hanyalah menyampaikan data kasar perihal jumlah uang sewa yang kukumpulkan setelah dikurangi pengeluaran operasional, dan ia tak mencurigaiku soal kesesuaian antara total uang sewa dengan total penghuni.
Aku lalu
menyerahkan uang pengumpulan bersihku kepadanya secara langsung, juga sering kutransfer
lewat bank, dan ia senantiasa akan menyisihkan bagian yang menggembirakan
untukku, layaknya upah kerja.
Di tengah tugasku sebagai pengelola kos-kosan itu, aku kemudian mengenal watak penghuni yang berbeda-beda. Ada yang sadar untuk membayar sewanya tanpa perlu ditagih, ada pula yang mesti diberikan ancaman pengusiran terlebih dahulu.
Sampai akhirnya, aku mengenal penghuni yang cukup bandel bernama Rasman. Sewanya telah menunggak lebih dari tiga bulan.
Tetapi setiap kali kutagih, ia akan meminta perpanjangan tempo dengan alasan
klasik, bahwa ia belum mendapatkan kiriman uang dari kampungnya.
Tentu saja aku tak mau memercayainya begitu saja. Aku bahkan tak peduli dan terus menagihnya sembari mengancam akan mengeluarkannya dari kos-kosan.
Hingga akhirnya, pada satu hari, saat aku menagihnya, ia pun menangis. Ia lalu menceritakan kehidupannya yang malang. Ayahnya yang seorang pertani sayur-mayur, telah meninggal.
Ibunya lalu bekerja
keras mengongkosi kebutuhannya bersama lima orang adiknya dengan hasil bertani
yang pas-pasan.
Demi meyakinkan aku, ia kemudian
menyambungkanku dengan ibunya melalui telepon, hingga aku membenarkan semua
ceritanya.
Sesaat berselang, dengan raut wajah yang murung, ia lalu membandingkan keadaan kehidupan kami, "Orang tuaku sama dengan orang tua Kakak. Sama-sama petani dengan penghasilan yang seadanya.
Tetapi kukira, Kakak tidak bisa merasakan apa yang kurasakan karena
Kakak hanya dua orang bersaudara, dan Kakak punya bibi yang sanggup menanggung
hampir semua kebutuhan Kakak di kota ini," tuturnya, dengan sapaan
sebagaimana ia biasa menyapaku, sebab aku memang satu tingkat lebih senior
darinya pada satu kampus yang sama dengan fakultas yang berbeda.
Seketika, aku membenarkan penilaiannya itu. Perlahan-lahan, aku menjadi iba. Aku lantas memikirkan jalan terbaik untuk persoalan sewa kos-kosannya yang tak bisa juga ia lunasi ketika seharusnya aku telah mengusirnya.
Aku kemudian mengambil keputusan, "Baiklah. Kau boleh hanya membayar setengah dari sewamu. Kau pun boleh membayarnya kapan saja, setelah kau punya uang yang memadai.
Tetapi syaratnya, kau harus membantuku
mengurus kos-kosan ini. Apalagi, aku sedang disibukkan persoalan penelitian di
kampus. Kau sanggup?"
Rona wajahnya sontak menjadi cerah.
Ia lalu mengangguk sembari menyeka air matanya. "Ya, aku siap, Kak. Terima
kasih banyak," jawabnya, kemudian merebut tanganku dan menyalamiku.
Akhirnya, hari demi hari setelah kesepakatan itu, Rasman menjadi kaki tanganku. Ia senantiasa kutugaskan untuk menagih sewa para penghuni yang jatuh tempo, dan ia selalu menunaikannya dengan baik.
Ia lalu akan memberikan hasil penagihannya kepadaku, tanpa kurang
sepeser pun. Karena itu, aku kerap membalasnya dengan traktiran makanan, terutama
setelah ia berhasil melakukan penagihan kepada penghuni yang menunggak sewa.
Seiring waktu, aku memang cukup memercayai Rasman. Aku membaca kalau ia adalah orang yang baik dan jujur.
Karena
itu, aku makin yakin kalau ketidakmampuannya membayar sewa kos-kosannya bukan
karena ia bandel dengan menyalahgunakan uang kiriman orang tuanya untuk hal
yang sia-sia, tetapi murni karena kemiskinannya. Sebab itu pula, aku tak pernah
menyesal telah memberikan keringanan sewa untuknya.
Tentu, keputusanku untuk meringankan bebannya dan bekerja sama, merupakan sebuah rahasia besar. Kami bersepakat untuk tidak membocorkannya kepada penghuni kos-kosan yang lain, terlebih kepada bibiku.
Untuk itu, aku terpaksa melakukan kebohongan dan rekayasa. Aku menghilangkan satu jumlah penghuni kos-kosan yang kuinformasikan kepada bibiku demi menanggulangi kamar Rasman yang tak menghasilkan uang sewa sebagaimana mestinya.
Beruntung, bibiku tak pernah curiga dan menyelidiki keteranganku. Apalagi,
ia memang seolah menyerahkan sepenuhnya pengelolaan kos-kosannya kepadaku,
sebab ia lebih sering berada di rumah putranya, di pulau seberang.
Karena itulah, kini, setelah aku mendapatkan kabar dari bibiku kalau Rasman berada di kos-kosan, aku pun lekas pulang.
Aku rela meninggalkan kedai penjualan gorenganku yang kulakoni dengan permodalan bibiku di tengah upayakan mencari pekerjaan dengan ijazah sarjana ekonomiku yang selalu gagal.
Aku merekakan saja keuntunganku hilang dalam beberapa waktu untuk
bertemu dengan Rasman. Kurasa, itu bukanlah kerugian berarti dalam upayaku memperoleh
penghasilan yang akan kubagikan dengan bibiku di tengah usaha kos-kosannya yang
makin lesu akibat persaingan yang ketat dengan kos-kosan baru yang lebih
baik dan menarik.
Belum lagi, aku memang harus pulang cepat-cepat demi meredakan kekhawatiranku yang menggunung. Kupikir, tak ada alasan bagi Rasman untuk kembali ke kos-kosan selain karena perkara kompensasi sewa indekosnya dahulu.
Apalagi, uang sewa berdiskon yang kupatok untuknya, memang baru
ia lunasi separuhnya sebelum ia pamit sembari meminta pemakluman. Karena itu,
aku cemas kalau ia akan membongkar rahasiaku kepada bibiku, sedang aku masih
menumpang di kos-kosan tersebut.
Setelah sekian lama melintasi jalanan dengan laju sepeda motor yang kencang, akhirnya, aku sampai di kos-kosan. Seketika pula, aku menjumpai Rasman dengan penampilan yang jauh berubah.
Ia tampak gagah dengan setelan yang rapi. Ia kemudian menghampiriku dan memelukku. Kami lantas terlibat percakapan perihal kehidupan kami di masa lalu dan masa sekarang, di samping bibiku, di satu ruangan yang khusus untuk berkumpul-kumpul dan menyambut tamu.
Sampai akhirnya, aku tahu kalau ia
sekarang hidup sejahtera setelah berhasil menjadi karyawan perusahaan minyak
milik negara. Aku pun turut senang atas pencapaiannya.
Setelah sekian lama mengobrol, Rasman kemudian menyampaikan kehendaknya untuk segera pergi demi memastikan kalau ia tidak akan melewatkan jadwal penerbangannya. "Terima kasih atas kebaikan Kakak dan Bibi selama aku indekos di sini. Tanpa pengertian kalian, aku tidak akan bisa menjadi seperti sekarang."
Kulihat bibiku mengangguk-angguk dan tersenyum.
Sontak, aku jadi takut kalau ia kelepasan dan membongkar rahasia kami berdua. Aku lalu memberinya tanda peringatan dengan kedipan mata dan raut yang risih, lantas berbisik tegas, "He, ingat kesepakatan kita!" kataku, dengan wajah yang memaling dari bibiku.
Rasman malah tersenyum kikuk dan menoleh kepada bibiku.
"Aku sudah tahu semuanya. Tak ada lagi yang perlu dirahasiakan," ujar bibiku.
Akhirnya, aku pasrah saja mengetahui kalau rahasia besarku telah terkuak sebelum kedatanganku.
Sesaat kemudian, Rasman berdiri dari posisi duduknya, lalu pamit kepada bibiku.
Sebagaimana layaknya, aku lalu
mengantarnya keluar kos-kosan, ke pinggir jalan, pada sebuah mobil taksi daring
yang sedang menunggu dan akan mengantarnya ke bandara.
“Maafkan aku karena telah membongkar rahasia kita kepada bibimu,” ujar Rasman, di tengah langkah-langkah kami.
Aku hanya mengangguk-angguk pasrah. Tak ada juga yang bisa dilakukan untuk kembali menutupinya.
"Oh, ya, ini untuk Kakak," katanya, setelah kami menyimpang dari pandangan bibiku, sembari menyerahkan sebuah amplop yang kuyakini berisi lembaran-lembaran uang.
"Aku tak tahu ini istilahnya apa. Ini bisa jadi tanda terima kasihku atas kebaikan Kakak dahulu, atau balas budiku atas traktiran Kakak dahulu."
"Tetapi ini tidak seharusnya, Man. Aku ikhlas untuk soal-soal yang sudah lalu," tanggapku.
Ia lantas tersenyum. "Ah. Terimalah. Ini jelas tak lebih berharga dari apa yang Kakak berikan dan lakukan untukku dahulu. Bagaimanapun, sesuatu akan sangat berharga kalau kita sedang membutuhkannya. Dan kebijaksanaan Kakak untuk meringankan sewa indekosku dahulu, sangat berarti bagiku."
Melihat sikapnya yang memaksa, aku pun menerima pemberiannya.
Sesaat berselang, kami lalu bersalaman dan berpelukan. Ia lantas naik ke atas mobil, hingga akhirnya menghilang di ujung lorong.
Aku lalu kembali menghadap bibiku. Dengan sikap segan, aku berucap, "Bibi, maafkan aku atas apa yang telah kulakukan terhadap Rasman.”
Bibiku tersenyum. "Tidak apa-apa. Tak ada salahnya melonggarkan beban orang yang berada dalam kesempitan. Itu malah sebuah kebaikan. Kita hanya perlu berhati-hati agar kita tidak berlaku baik kepada para penipu atau orang yang berniat jahat."
Aku balas tersenyum dengan perasaan lega atas pemaklumannya.
"Oh, ya, tadi, sebelum kau ke sini, Rasman telah memberikan uang kepadaku sebagai pelunasan atas semua tunggakannya dahulu, dengan tarif sewa yang normal. Ia bahkan memberiku uang yang lebih dari seharusnya," tutur bibiku.
Seketika, aku terkejut. Aku sungguh tak menyangka kalau ia akan melakukan itu.
"Ia juga menyarankan agar pemberian lebihnya itu dipakai untuk meremajakan dan memperbaiki kos-kosan ini. Dan kupikir, kita memang perlu melakukannya, terutama untuk melakukan pengecatan dinding dan mengganti bagian genteng yang bocor,” terang bibiku.
Aku mengangguk setuju.
"Besok, kau bisa cari tukang untuk mengerjakan itu, kan?"
"Tentu, Bi."
Hari sudah sore. Aku pun makin
menyadari kalau seiring waktu, roda kehidupan memang berputar.***
Ramli Lahaping.
Kelahiran Gandang Batu, Kabupaten Luwu. Berdomisili di Kota Makassar. Menulis
di blog pribadi (sarubanglahaping.blogspot.com).
Bisa dihubungi melalui Twitter (@ramli_eksepsi) atau Facebook (Ramli Lahaping).