![]() |
Tu'a Teno gendang Gilong Fransiskus Rapas (tengah) ketika mengadakan ritual tepal di natas beo Rae |
[Congkasae.com/Sosial Budaya] Bagi orang Manggarai Timur memasuki musim tanam merupakan hal yang paling ditunggu-tunggu dalam setiap tahun.
Pasalnya meski ladang garapan sudah siap untuk ditanami, namun apabilah tu'a teno belum memberi aba aba untuk memulai proses menanam maka tidak diperbolehkan menanam benih.
Hal tersebut berlaku bagi masyarakat yang mendiami wilayah kedaluan Manus di Manggarai Timur Flores, NTT.
Orang-orang di wilayah ini meyakini jika tanaman alias Po'ong yang ditanam warga memiliki roh alias wakar.
Karenanya perlu dilakukan ritual khusus yang mengatur soal penghormatan kepada wakar tanaman alias Poong agar memberikan hasil berlimpah.
Demikian pulah dengan sumber mata air yang digunakan warga perluh dilakukan pembersihan agar tetap mengalirkan air sepanjang tahun.
Sekumpulan ritual untuk menghormati roh tanaman maupun pembersihan mata air minum itulah yang disebut dengan istilah hang Woja.
Secara umum hang Woja memiliki makna rangkaian upacara yang dilakukan oleh sekelompok masyarakat dalam satu wilayah gendang tertentu untuk meminta berkat pada Tuhan (Jari Agu Dedek), kepada leluhur (Embu agu embo) maupun kepada bumi (watu agu tana) agar memberikan hasil yang berlimpah pada musim tanam tahun itu.
Ritual Hang Woja dilakukan pada awal musim tanam antara bulan September dan Oktober setiap tahun.
Uniknya para petani tidak diperbolehkan menanam padi atau jagung sebelum dilakukan ritual ini.
Dalam ritual Hang Woja, para pemangku kepentingan dalam hal ini tu'a teno memiliki andil yang besar dalam menyelenggarakan acara.
Fransiskus Rapas adalah tu'a teno Gendang Gilong, wilayahnya meliputi sebagian desa Rana Mbata, kecamatan kota Komba Utara Manggarai Timur.
Menurut Fransiskus, melalui tradisi hang Woja dirinya merasa dekat dengan alam dan lingkungan yang memberi kehidupan bagi kita manusia.
"Hang Woja itu menjadi tradisi sakral karena di situ kita manusia menghormati Jari Agu Dedek, Morin Agu Ngaran, (Tuhan sang Pencipta), Watu Agu Tana (Alam dan lingkungan semesta), dan Wakar ede Poong (roh dari tanaman),"ujar Fransiskus Rapas di Mbata belum lama ini.
Sebagai pewaris tahta gendang Gilong, Fransiskus Rapas tahu betul akibatnya jika ritual hang woja yang diwariskan orang tuanya tak dilaksanakan.
Menurutnya, hasil kerja yang tidak maksimal dan segala sakit dan penyakit akan menimpa manusia jika ritual itu dilanggar.
"Itulah yang disebut naki, bisa jadi hasil tidak maksimal, tanaman diserang hama, atau naki wone weki berupa sakit dan penyakit yang menimpa kita manusia,"jelasnya.
Maka dari itu Frans berujar pelaksanaan ritual hang woja bersifat wajib untuk dilaksanakan secara kolektif oleh masyarakat.
Ritual hang woja sendiri diawali dengan Roi Wae Teku yakni kegiatan untuk membersihkan mata air minum, termasuk menanam pohon yang menjadi sumber air di sekitar lokasi mata air.
Selanjutnya dilakukan kelong berupa arak-arakan dari lokasi mata air menuju kampung yang memiliki makna air sebagai sumber kehidupan dihormati dijaga dengan harapan selalu memancarkan air untuk kehidupan manusia.
"Dalam hal ini manusia menganggap mata air itu sebagai sumber kehidupan yang keberadaanya sangat penting karena tanpa air manusia tak bisa hidup, karenanya roi wae teku menjadi hal pertama dalam rangkaian kegiatan hang woja,"papar Frans.
Ia mengatakan kegiatan selanjutnya adalah tepal, yakni sederet acara yang dilakukan di tengah kampung (soa/compang) untuk menghormati ketiga aspek yakni Jari Agu Dedek, Watu agu tana dan wakar ede poong, yang dilanjutkan dengan upacara tapa kolo dan makan bersama.
Selanjutnya dilakukan acara Caci sebagai bentuk selebrasi dari rangkaian acara hang woja namun caci bersifat situasional yang berarti boleh dilaksanakan dan boleh juga tidak dilaksanakan tergantung persiapan.
Rangkaian acara berikutnya menurut Frans adalah acara podo Ni,i di pintu masuk kampung (paan beo) yang dilakukan oleh tu'a teno.
Dalam ritual ini tu'a teno akan membawa sisah makanan yang dilakukan pada saat tepal dalam wadah (bipang kolo) sementara warga masyarakatnya akan melempari tua teno dengan batu kerikil dari belakang.
"Ritual ini memiliki arti masyarakat menghalau segala bentuk hama penyakit pada tanaman, begitu pulah dengan segala bentuk sakit dan penyakit dalam diri, sehingga tanaman bisa memberikan hasil yang berlimpah dan kita manusia dijauhkan dari penyakit dan segala kesialan,"terangnya.
Keesokan harinya seluruh warga dalam lingkup gendang Gilong dilarang bekerja, termasuk menyentuh tumbuh-tumbuhan sebagai bentuk penghormatan kepada wakar tanaman.
"Itulah yang disebut dengan irong tepal, yakni bentuk penghormatan kepada wakar poong melalui larangan beraktivitas bagi seluruh warga hal ini berlaku selama seharian penuh, jika dilanggar maka akan beresiko besar terutama bagi hasil panen tahun itu,"tambah Frans.
Setelah melewati tahap irong maka para petani diperbolehkan menanam benih di lahan mereka, dengan harapan yang sama yakni bisa memberikan hasil panen yang berlimpah.
Hal tersebut menurut Frans dilakukan secara turun temurun dalam wilayah gendang Gilong di wilayah kedaluan manus Manggarai Timur.
Ritus dan tradisi hang woja di Manggarai Timur merupakan bagian dari tradisi yang diwariskan dari para leluhur yang terus dilakukan oleh masyarakat hingga saat ini.
Tradisi ini lahir di tengah masyarakat Manggarai Timur yang mayoritas berprofesi sebagai petani yang menjadi profesi utama.
Ritus hang woja menjadi bagian dari upaya masyarakat dalam menjalankan sedikitnya tiga falsafah hidup orang Manggarai yakni Uma Bate Duat, Wae Bate Teku, dan Compang Bate Takung.
Dalam falsafah uma bate duat, uma alias ladang garapan dianalogikan sebagai lumbung yang menjadi sumber utama makanan demi kelangsungan hidup orang Manggarai.
Pasalnya dari ladang itu orang Manggarai memperoleh makanan, segala sesuatu yang berkaitan dengan isi perut berupa padi, jagung, sayur termasuk hasil komoditas bernilai jual seperti kopi, cengkeh, vanili dan kemiri.
Semuanya itu diperoleh dari ladang, karenanya orang Manggarai menjadikan ladang sebagai salah satu falsafah hidup melalui ungkapan uma bate duat.
Selain itu, ungkapan atau falsafah hidup yang kedua yakni wae bate teku mengandung makna bahwa air yang menjadi sumber utama kehidupan manusia senantiasa selalu dibutuhkan.
Karenanya merawat mata air menjadi kewajiban bagi orang Manggarai melalui ritus roi wae teku atau barong wae.
Hal ini bagian dari upaya manusia dalam menjaga dan melestarikan sumber mata air agar terus membual air yang jernih dan sehat demi kehidupan manusia.
Falsafah wae bate teku juga populer dalam acara laki atau wai anak (pernikahan) melalui ungakapan wae teku tedeng, yang menggambarkan air sebagai sumber utama kehidupan manusia karenanya kegiatan menimba air menjadi kegiatan rutinitas setiap waktu sepanjang manusia itu hidup.
Ungkapan wae teku tedeng dalam konteks ini menggambarkan hubungan kekerabatan antara kedua keluarga besar yakni anak wina (keluarga anak laki-laki) dan anak rona (keluarga anak perempuan) yang tak pernah putus sama seperti kegiatan menimba air.
Sementara falsafah yang ketiga yakni compang bate takung merupakan bagian dari upaya orang Manggarai dalam membangun hubungan yang harmonis terhadap sang pemilik kehidupan (Jari Agu Dedek) di samping para leluhur (Wura agu seki) melalui ritus takung peang compang.
Semua ritus ini terlaksana dalam satu rangkaian acara yakni hang woja yang dilestarikan secara turun-temurun.
BACA JUGA
Setelah Menikah, Pria Manggarai Wajib Wale Sida
Sistem Perkawinan Lili mempersunting Janda demi eksistensi wau'u