- -->
  • Jelajahi

    Copyright © Congkasae.com
    Best Viral Premium Blogger Templates

    Iklan

    Ritual Hang Woja, Cara Bersyukur pada Alam dan Leluhur Ala Orang Manggarai Timur

    By Antonius Rahu | Editor Tony R
    14 Oktober, 2023, 10:15 WIB Last Updated 2023-10-14T03:28:28Z
    Post ADS 1
    Post ADS 1

     

    Ritual Hang Woja, Cara Orang Manus Menghormati Alam dan Leluhur Mereka

    [Congkasae.com/Sosial Budaya] Bagi orang Manggarai Timur memasuki musim tanam merupakan hal yang paling ditunggu-tunggu dalam setiap tahun.


    Pasalnya meski ladang garapan sudah siap untuk ditanami, namun apabilah tu'a teno belum memberi aba aba untuk memulai proses menanam maka tidak diperbolehkan menanam benih.


    Hal tersebut berlaku bagi masyarakat yang mendiami wilayah kedaluan Manus di Manggarai Timur Flores, NTT.


    Orang-orang di wilayah ini meyakini jika tanaman alias Po'ong yang ditanam warga memiliki roh alias wakar.


    Karenanya perlu dilakukan ritual khusus yang mengatur soal penghormatan kepada wakar tanaman alias Poong agar memberikan hasil berlimpah.


    Demikian pulah dengan sumber mata air yang digunakan warga perluh dilakukan pembersihan agar tetap mengalirkan air sepanjang tahun.


    Sekumpulan ritual untuk menghormati roh tanaman maupun pembersihan mata air minum itulah yang disebut dengan istilah hang Woja.


    Secara umum hang Woja memiliki makna rangkaian upacara yang dilakukan oleh sekelompok masyarakat dalam satu wilayah gendang tertentu untuk meminta berkat pada Tuhan (Jari Agu Dedek), kepada leluhur (Embu agu embo) maupun kepada bumi (watu agu tana) agar memberikan hasil yang berlimpah pada musim tanam tahun itu.


    Ritual Hang Woja dilakukan pada awal musim tanam antara bulan September dan Oktober setiap tahun.


    Uniknya para petani tidak diperbolehkan menanam padi atau jagung sebelum dilakukan ritual ini.


    Dalam ritual Hang Woja, para pemangku kepentingan dalam hal ini tu'a teno memiliki andil yang besar dalam menyelenggarakan acara.


    Fransiskus Rapas adalah tu'a teno Gendang Gilong, wilayahnya meliputi sebagian desa Rana Mbata, kecamatan kota Komba Utara Manggarai Timur.


    Menurut Fransiskus, melalui tradisi hang Woja dirinya merasa dekat dengan alam dan lingkungan yang memberi kehidupan bagi kita manusia.


    "Hang Woja itu menjadi tradisi sakral karena di situ kita manusia menghormati Jari Agu Dedek, Morin Agu Ngaran, (Tuhan sang Pencipta), Watu Agu Tana (Alam dan lingkungan semesta), dan Wakar ede Poong (roh dari tanaman),"ujar Fransiskus Rapas di Mbata belum lama ini.


    Sebagai pewaris tahta gendang Gilong, Fransiskus Rapas tahu betul akibatnya jika ritual hang woja yang diwariskan orang tuanya tak dilaksanakan.


    Menurutnya, hasil kerja yang tidak maksimal dan segala sakit dan penyakit akan menimpa manusia jika ritual itu dilanggar.


    "Itulah yang disebut naki, bisa jadi hasil tidak maksimal, tanaman diserang hama, atau naki wone weki berupa sakit dan penyakit yang menimpa kita manusia,"jelasnya.


    Maka dari itu Frans berujar pelaksanaan ritual hang woja bersifat wajib untuk dilaksanakan secara kolektif oleh masyarakat.


    Ritual hang woja sendiri diawali dengan Roi Wae Teku yakni kegiatan untuk membersihkan mata air minum, termasuk menanam pohon yang menjadi sumber air di sekitar lokasi mata air.


    Selanjutnya dilakukan kelong berupa arak-arakan dari lokasi mata air menuju kampung yang memiliki makna air sebagai sumber kehidupan dihormati dijaga dengan harapan selalu memancarkan air untuk kehidupan manusia.


    "Dalam hal ini manusia menganggap mata air itu sebagai sumber kehidupan yang keberadaanya sangat penting karena tanpa air manusia tak bisa hidup, karenanya roi wae teku menjadi hal pertama dalam rangkaian kegiatan hang woja,"papar Frans.


    Ia mengatakan kegiatan selanjutnya adalah tepal, yakni sederet acara yang dilakukan di tengah kampung (soa/compang) untuk menghormati ketiga aspek yakni Jari Agu Dedek, Watu agu tana dan wakar ede poong, yang dilanjutkan dengan upacara tapa kolo dan makan bersama.


    Selanjutnya dilakukan acara Caci sebagai bentuk selebrasi dari rangkaian acara hang woja namun caci bersifat situasional yang berarti boleh dilaksanakan dan boleh juga tidak dilaksanakan tergantung persiapan.


    Rangkaian acara berikutnya menurut Frans adalah acara podo Ni,i di pintu masuk kampung (paan beo) yang dilakukan oleh tu'a teno.


    Dalam ritual ini tu'a teno akan membawa sisah makanan yang dilakukan pada saat tepal dalam wadah (bipang kolo) sementara warga masyarakatnya akan melempari tua teno dengan batu kerikil dari belakang.


    "Ritual ini memiliki arti masyarakat menghalau segala bentuk hama penyakit pada tanaman, begitu pulah dengan segala bentuk sakit dan penyakit dalam diri, sehingga tanaman bisa memberikan hasil yang berlimpah dan kita manusia dijauhkan dari penyakit dan segala kesialan,"terangnya.


    Keesokan harinya seluruh warga dalam lingkup gendang Gilong dilarang bekerja, termasuk menyentuh tumbuh-tumbuhan sebagai bentuk penghormatan kepada wakar tanaman.


    "Itulah yang disebut dengan irong tepal, yakni bentuk penghormatan kepada wakar poong melalui larangan beraktivitas bagi seluruh warga hal ini berlaku selama seharian penuh, jika dilanggar maka akan beresiko besar terutama bagi hasil panen tahun itu,"tambah Frans.


    Setelah melewati tahap irong maka para petani diperbolehkan menanam benih di lahan mereka, dengan harapan yang sama yakni bisa memberikan hasil panen yang berlimpah.


    Hal tersebut menurut Frans dilakukan secara turun temurun dalam wilayah gendang Gilong di wilayah kedaluan manus Manggarai Timur.


    BACA JUGA

    Setelah Menikah, Pria Manggarai Wajib Wale Sida


    Sistem Perkawinan Lili mempersunting Janda demi eksistensi wau'u


    Jurak dalam Hukum adat perkawinan Manggarai

    Komentar

    Tampilkan