- -->
  • Jelajahi

    Copyright © Congkasae.com
    Best Viral Premium Blogger Templates

    Iklan

    Surga Tersembunyi di Tengah Ibu Kota

    Penulis: Antonius Rahu | Editor:Tim Redaksi
    29 Januari, 2024, 08:15 WIB Last Updated 2024-01-29T01:15:19Z
    Post ADS 1
    Post ADS 1

     

    Surga Tersembunyi di Tengah Ibu Kota

    Oleh Hanss Harsel

    Malam semakin larut. Hitam pekat menyelimuti lorong kota. Rintik hujan menjadi saksi bisu atas diamku. 


    Detik dan menit terus bergantian seolah berlomba siapa yang paling cepat berputar diantara keduanya. Semilir anginpun perlahan memeluk sekujur tubuhku.


    Dari balik jendela kamar kost, tenang mengenang tanah tumpah darah, renung sembari mengeluh tentang jalan hidup yang ditempuh, mulut seolah dibungkam hingga tak mampu mengucap kata selain degusan panjang ditengah pekatnya malam. 


    Dalam hati ingin sekali memberontak akan skenario semesta lalu menyalahkan waktu sebagai penyebab utamanya. 


    Tetap saja aku bukanlah pria beruntung seperti cerita Aladin yang nasibnya berubah setelah menemukan lampu ajaib.


    Sesekali aku melirik ke arah bulan yang perlahan menghilang dibalik awan hitam. Rinduku pada temu hanyalah hayalan belaka. 


    Tentang masakan Mama yang entah kapan kembali aku nikmati. Tentang tawa dalam canda yang menjadi candu disetiap perkumpulan menghabiskan waktu bersama teman masa kecilku dulu.


    Sendiri dan benar benar sendiri. Dalam lingkaran gelap malam, menikmati seduhan demi seduhan secangkir kopi seorang diri. 


    Melamun bisu dibalik gumpalan asap tebal yang aku hembuskan sendiri setelah menghisap sebatang Gudang Garam. 


    Hingga berujung bayangan akan gaya-gaya unik kala memburu kopi dirumah teman kembali menghantam benak. 


    Senyuman hangat yang terpancar dari wajah ibu-ibu mereka kala menawarkan dibuatkan kopi sudah tak lagi aku saksikan. Semuanya hilang bersama berlalunya waktu. 


    Ceritanya tertutup lembaran baru yang dimana mereka-mereka itu sudah tak lagi menjadi bagian dari alur perjalanan kisahku semenjak beberapa tahun belakangan ini. 


    Kisah unik bersama mereka sementara usai dulu sembari menunggu perputaran waktu keberikutnya dan memulai mengulas kenangan baru.


    Memang waktu dan jarak adalah dua opsi yang tak pernah terlepas dari kehidupan seseorang yang ditunjuk oleh kesempatan untuk menjadi satu-satunya harapan dalam merubah nasip dan garis keturunan yang biasa-biasa saja itu. 


    Meski suatu hari merasakan kehilangan pastinya akan melumpuhkan semangat dalam keadaan apapun.


    Bersama detik yang terus berganti dan kopiku yang kian habis. Dalam tatapanku pada langit yang dengan ganasnya melenyapkan bias rembulan. 


    Pikiranku berhamburan entah tujuannya akan menjadi apa. Tetaplah sekarang adalah era baru. Era dimana kita akan dianggap dari seberapa besar kekayaan yang kita punya. 


    Era dimana saling menjatuhkan adalah hal biasa yang patut dilakukan meski demi kepentingan semata. 


    Era dimana menindas orang lemah merupakan pekerjaan utama para penguasa tanpa memahami secara detail makna perjuangan yang sesungguhnya dan seperti apa jiwa kemanusiaan yang sebetulnya.


    Sekarang yang dikejar kebanyakan adalah kekuasaan dan norma-norma yang menjadi aturan mainnya sudah jarang dianggap. Adab kemanusiaan yang sesunggunya telah terasingkan. 


    Entah ini skenario yang dirancang pemilik semesta atau memang ambisi para pengikut-Nya yang berlebihan, aku hanya ditugaskan untuk menjalani dan menikmati setiap alurnya.


    *****

    Menyendiri adalah cara seseorang dalam menenangkan pikiran. Namun bagiku, itu hanyalah ilusi. Sebab yang ku dapatkan dalam kesendirianku malam ini hanyalah pikiranku berhamburan ditengah gemerciknya suara atap kost dihantam bulir bening semesta.


    Hujan malam ini membawahku kepada kenangan yang telah sekian musim tertutup sejarah baru selama menempuh hidup ditanah perantauan beribu cerita ini. 


    Kenangan-kenangan tersebut dengan sendirinya menghadirkan pilu. Pilu dalam rindu akan Surga tersembunyi ditengah ibu kota itu. Surga tersebut adalah tanah tumpah darahku. 


    Tanah pertama kali aku merasakan kehangatan dunia meski belum bisa melihat bentuknya seperti apa dan bagaimana keadaannya. 


    Tanah dimana damainya suara sang ibu dalam meredah tangisku terdengar indah nan merdu. Tanah segala kenanganku dimulai dan berakhir dalam waktu yang tak bisa ku tebak. 


    Entah kapanpun itu, yang pasti malam ini semuanya kembali terlukis dalam benak. Alur kisahnya tersusun rapi bersama waktu yang tak mungkin terulang lagi.


    Surga tersembunyi ditengah ibu kota itu adalah tempat ternyaman bagiku dalam menciptakan kedamain dan pusat dari sekian banyak rindu yang tercipta pada keseharianku selama ditanah perantauan ini.

     

    Julukan surga tersembunyi yang aku definisikan untuk kampung kecil yang unik dengan jejeran rumah warga yang menarik itu bukan hanya karena letak wilayahnya berada ditengah ibu kota atau nuansa alamnya yang menakjubkan. 


    Tuwa, kampung kecil di Desa Gurung Liwut, Kecamatan Borong, Kabupaten Manggarai Timur, Flores, NTT. 


    Terlihat biasa saja tetapi mampu menciptakan berbagai keunikan yang sulit dilupakan. Mulai dari kepulan asap dari dapur yang berkumandang kala para ibu mengolah hasil kebun untuk dijadikan santapan. 


    Tentang sore dan hebonya suara anak kecil kala menghabiskan waktu mainya di halaman kampung lalu kemudian sentakan kakinya tersamar jelas pada gendang telinga kala hambur berlarian saat gelap mulai menyelinap seisi kampung. 


    Tentang tawa meriah para bapa-bapa kala bercerita sembari menyeruputi kopi pahit khas masyarakat Manggarai umumnya di rumah tetangga meski mereka bukanlah tamu istimewah, namun pelayanan pemilik rumah selalu menjadikan tamunya adalah paling istimewah. 


    Tentang anak muda yang selalu antusias menyediakan tenaga kala para tetua dikampung membutuhkan bantuan mereka tanpa selalu menuntut imbalan meski terkadang sebatang rokok adalah incaran utama bagi mereka yang telah menjadi pecandu asap.


    Kopiku telah habis namun pikiranku tentang kampung halaman belum usai. Jika keadaan mendukungku untuk pulang, aku akan pulang. 


    Pulang untuk mengobati rindu yang telah sekian musim menanti temu. Pulang untuk menghapus pilu yang setiap dentuman detik selalu menunggu pulih. 


    Pulang untuk kembali menjadikan diriku adalah salah satu peran utama dalam kisah yang tercipta disetiap perkumpulan bersama mereka-mereka sebagai pelengkap dari kenanganku teripta. 


    Pulang untuk melihat seberapa berubahnya infrstruktur yang dibangun oleh pemimpin yang telah sekian tahun kami menaruh harap padanya untuk benar-benar membawah perubahan baru di Gurung Liwut, supaya pada akhirnya bukan hanya namanya saja yang berada ditengah ibu kota tetapi kemajuan desanya juga mendukung sebagaimana seperti desa-desa di tengah ibu kota pada umumnya.


    *****

    Tak terasa hampir sejam lebih aku termenung dibalik tirai jendela kamar kost ini. Suasana kota pun perlahan hening bersama malam yang semakin larut. Suara kendaraanpun sudah tak satupun aku dengarkan.


    Laju jatuh air hujan yang tersisa diujung genteng terdengar berirama menghantam genangan air di diluar pintu kamarku. Rembulan pun nampak malu-malu menunjukan wujudnya setelah sekian detik tertutup awan pekat. 


    Malam minggu yang syahdu menurutku setelah sejam lebih pikiranku berkecamuk bersama kenangan yang selalu membekas dalam angan. Hingga akhirnya menyeruputi secangkir kopi pun kembali aku lakukan. 


    Menurutku menikmati secangkir kopi tidak hanya tentang rasa, tetapi juga tentang momen, cerita, dan kehangatan yang ia bawa. Setiap tetes kopi seperti melukiskan kisah hidup yang tak terlupakan.


    Malang, Januari 2024

    Saat ini penulis berdomisili di kota Malang Jawa Timur.


    Komentar

    Tampilkan

    ads