**Oleh Hanss Harsel**
Menuju penghujung Januari, mengingat budaya lejong (bertamu) sudah menjadi tradisi bagi kami anak-anak kost di Malang.
Budaya lejong sendiri bukan kami ciptakan ketika menginjakan kaki di tanah rantau, tetapi kebiasaan kami sebagai masyarakat Manggarai yang kami bawah atas dasar memahami kalimat bersilaturahmi itu penting.
Entah kami bertamu untuk sekedar kawe kopi (mau ngopi) atau bertamu untuk keperluan pribadi, tergantung apa motif dibalik keinginan seseorang untuk bertamu.
Malam itu, tepatnya malam Minggu. Bukan malam yang ditunggu-tunggu bagi saya yang sampai sekarang belum punya Enu (pujaan hati), seperti halnya remaja lelaki di luar sana yang suka berlaga dalam dunia cinta tai kucingnya kala malam minggu kembali menyapa.
Sekitar pukul 20:00 lewat, saya berniat main ke kost teman setelah beberapa pekan terakhir kami tidak saling bertemu. Bukan karena sibuk mencari Enu, tetapi sedang mendalami otak terkait hasil akhir dari satu semester. Kami sibuk UAS.
Meski ketika sudah bertemu kerjaannya hanya itu-itu saja, kalau tidak login mobile legend berarti duduk melingkar sembari salah satu dari kami berolahraga jari, membagikan setumpuk kartu yang dibeli saat awal bulan dulu. Dengan hukuman, yang kalah mukanya dicoret repang (ampas) kopi.
Jikalau bosan dengan kedua game tak berfaedah itu, kami bisa saja sekejab menjadi ahli gosip hingga hampir mengalahkan mama-mama tukang gosip di luar sana.
Bedanya, yang kami gosip bukan tetangga tetapi berbagai kebijakan dalam negeri ini. Maklum, kami lagi mencoba menjadi pria kritis dibalik perjalanan cinta yang begitu miris.
Tidak berselang lama, setelah usai perjalanan singkat dengan jaraknya sekitar hanya dibatasi beberapa rumah warga, saya pun tiba di kost teman. Seperti biasa, mengawali pertemuan dengan saling menjabat tangan.
Tidak lupa juga memberikan senyum manis bak ingin melumpuhkah hati para enu-enu Manggarai yang ada di Malang. Namun hingga sekarang diantara kami tetap belum mempunyai sang pujaan hati.
Bukan karena kalah tampan atau takut akan menjadi bagian dari istilah “Lalong bakok du lakon, bapa lalong du kolen”. Intinya kami masih suka menikmati waktu senggang.
Berkumpul kapan saja tanpa takut jika ada hati yang masih menanti di kamar kost. Eheemm
Malam itu, teman saya yang punya kost sedang asik mendengarkan Nenggo (lagu khas Manggarai) melalui speaker seken yang ia dapatkan di marketplace facebook.
Maklum, ia putra dari salah satu pemeran Tarian Caci di kabupaten Manggarai Timur, yang namanya terkenal di kalangan masyarakat Matim melalui gaya pukulan mautnya kala adanya pentas Caci.
Singkat cerita, “kalau panjang kalian menganggap bahwa tulisan ini tidak sesuai judul”.
Setelah dua gelas kopi dan sebungkus gudang garam yang dibeli hasil patungan sudah di siapkan.
Melewati obrolan basa basi, panjang lebar, tentang kami yang masih beta sendirian hingga sejauh ini belum ada yang membuka suara terkait lawan jenis yang menjadi idaman.
Hingga kami berganti topik setelah begitu asik menikmati suara emas salah satu pemuda Manggarai dalam membawakan nenggo pada channel YouTube-Nya. Oh ya, patungan adalah cara kami dalam membeli barang yang nantinya untuk kenikmatan bersama.
Caci adalah topik menarik dalam sebuah obrolan menurut saya. Selain karena kagum akan kehebatan dan luar biasanya anak muda Manggarai yang begitu antusias meminati permainan Tarian Caci di tengah meningkatnya penggemar sosial media.
Caci juga merupakan hobi saya dan beberapa teman saya di Malang, meski kami tidak begitu mahir seperti para pemain caci lainnya.
Seperti yang kita ketahui bahwa caci merupakan tarian adat masyarakat Manggarai yang sebagian besar dijuluki sebagai tari perang dan betul-betul punya keahlian bagi seseorang dalam memperagakan tarian ini.
Sebab dulu tarian caci hanya dimainkan oleh orang tua yang sudah berpengalaman, jarang ada anak mudanya bahkan hampir sama sekali tidak ada.
Menariknya juga ketika teman saya ini menunjukan video Caci dari “jantannya” Manggarai yang sempat mereka unggah di channel YouTube mereka.
Agar tidak gagal paham, Jantan yang dimaksud bukan ke pengertian buruknya, tetapi seperti yang kita ketahui bahwa makna simbolis Caci mengandung unsur kejantanan, dan kejantanan itu merupakan sejumlah atribut, prilaku dan peran yang terkait dengan laki-laki.
Tentu Saya apresiasi niat baik mereka. Tanpa disadari, memposting bagaimana model permainan Caci ke media sosial sudah menunjukan salah satu cara mempromosikan budaya Tarian Caci kepada masyarakat luar.
Sebab di tengah arus globalisasi peran anak muda menjadi kunci penting dalam melestarikan, mengembangkan, dan mengintegrasikan budaya ke dalam dinamika zaman.
Seperti pada era sekarang, teknologi menjadi kekuatan besar yang dapat digunakan untuk menjembatani tradisi dengan perkembangan zaman.
Dengan menciptakan kolaborasi unik antara tradisi dan teknologi, mereka telah menggabungkan unsur tarian caci ke dalam proyek-proyek digital.
Video Caci yang mereka publikasikan dengan sendirinya akan menciptakan daya tarik yang lebih luas di kalangan audiens muda.
Upaya kolaboratif dan kreatif mereka bukan hanya menjaga warisan budaya tarian caci tetap hidup, tetapi juga membuktikan bahwa keberlanjutan budaya bisa sejalan dengan perkembangan dunia maya.
Mereka memiliki kekuatan untuk menjaga keberagaman budaya dan mewariskannya ke generasi yang akan datang.
Hal ini dapat menyadarkan kita bahwa Tarian Caci adalah sebuah Penataan dan budaya pemeliharaan yang dilakukan secara rutin dan berkala agar tujuan dari budaya dalam tata kehidupan masyarakat benar-benar dipahami dan dirasakan manfaatnya.
Peran mereka dalam mempertontonkan budayanya kepada masyarakat luar melalui media sosial dapat dinilai sebagai plopor perkembangan budaya dengan konteks perubahan yang sangat signifkan.
Sebagai agen yang kreatif dan inovatif, hal ini menunjukan bahwa mereka menyambut kemajuan tanpa menghilangan identitasnya sebagai pewaris budaya. Sebab anak muda dalam berbudaya adalah penghubung masa lalu dengan masa depan.
Dimana mereka akan menjadi generasi baru sebagai penerus budaya terhadap keturunan mereka suatu saat nanti.
Setelah menyaksikan beberapa tayangan singkat video Caci, saya jadi rindu pulang. Selain rindu masakan mama, saya juga ingin mengulang momen-momen unik kala saya dan beberapa teman sekampung rela berjalan kaki menelusuri perkebunan warga menuju desa tetangga, demi bisa ikut memperagakan tarian caci.
Kemudian merekamnya untuk dipubliksi jika saya bagian dari generasi yang ingin mengembangkan budaya di tengah berkembangnya dunia maya, juga sebagai kenangan yang akan ditunjukan kepada anak cucu nanti. Eeaahh.
Hans Harsel Saat ini penulis berdomisili di kota Malang Jawa Timur.