[Congkasae.com/Lejong] Provinsi Nusa Tenggara Timur memperoleh predikat provinsi dengan kasus gizi buruk alias stunting tertinggi kedua dari seluruh provinsi di Indonesia berdasarkan data yang dirilis Dirjen Informasi dan Komunikasi Publik Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo) Usman Kansong.
Usman mengatakan angka gizi buruk di provinsi NTT mencapai 37% dari total populasi di provinsi kepulauan itu.
"NTT posisi kedua (kasus stunting) tahun ini karena adanya provinsi baru. Kalau tidak ada provinsi baru di Papua, NTT itu juara satu," ungkap Dirjen Informasi dan Komunikasi Publik Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo) Usman Kansong, seusai Sosialisasi Pencegahan Stunting kepada Forum Lintas Agama di Labuan Bajo, Manggarai Barat, NTT, Selasa (30/7/2024) kemarin.
Usman berujar, terdapat kesenjangan kasus gizi buruk alias stunting di provinsi NTT antara kabupaten yang satu dengan kabupaten yang lainnya.
Itu berarti terdapat kabupaten dengan angka stunting terendah di provinsi NTT kendati demikian ada pula kabupaten dengan predikat stunting tertinggi.
Hal tersebut, menurut Usman memberi pemicu provinsi dengan kekayaan sumber daya bahari terbaik di Indonesia itu hingga menduduki peringkat kedua kasus gizi buruk secara nasional.
Temuan Hasil Riset Lebih Mengkhawatirkan
Dalam Riset yang dilakukan oleh Made Ayu Lely Suratri yang hasilnya dipublikasikan di jurnal berjudul Faktor Resiko Stunting Pada Anak Usia Dini di Provinsi NTT yang diterbitkan di jurnal National Library Of Medichine menyebut di Provinsi NTT 42,6% anak-anak mengalami perlambatan pertumbuhan akibat gizi buruk alias stunting.
"Masalah gizi kronis disebabkan oleh kurangnya asupan zat gizi dalam jangka panjang, sehingga mengakibatkan kebutuhan gizi tidak terpenuhi dan menyebabkan stunting,"kata Made dalam jurnal hasil risetnya.
Made mengatakan salah satu masalah global yang menghambat pertumbuhan manusia adalah stunting, yaitu anak-anak dengan tinggi badan rendah terhadap usia akibat kekurangan gizi kronis.
Ia menyebut konsekuensi jangka pendek dari kekurangan gizi meliputi peningkatan morbiditas dan mortalitas, gangguan perkembangan (kognitif, motorik, bahasa), dan peningkatan beban ekonomi untuk biaya perawatan dan pengobatan anak yang sakit.
"Dalam jangka panjang, hal ini menyebabkan penurunan kesehatan reproduksi, konsentrasi belajar, dan rendahnya produktivitas kerja,"tambah Made.
Ini tentu saja bukanlah kabar yang menggembirakan, lantaran angka gizi buruk malah diderita oleh anak-anak dari provinsi yang dikenal dengan sumber daya kelautan dan perikanan yang melimpah.
NTT Kaya Ikan, Mengapa Masih Ada Kasus Gizi Buruk?
Ironi itu menjadi salah satu topik yang disorot oleh dirjen komunikasi yang menduga tingginya angka stunting di provinsi NTT dilatar belakangi oleh faktor pola pikir masyarakat.
Untuk itu Dirjen Informasi dan Komunikasi Publik Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo) Usman Kansong, menyebut provinsi NTT seharusnya tak mengalami stunting jika pola pikir masyarakat berubah.
"Selama ini masyarakat kita selalu berpikir kalau sumber utama protein itu dari daging sapi yang harganya mahal, padahal bukan seperti itu sumber protein bisa didapat dari ikan, telur,"ujar Usman.
Selain itu, sambung Usman pola pikir lain di tengah masyarakat yang menyebut urusan stunting ditangani pada saat anak baru lahir.
Pola pikir tersebut, kata Usman, tidaklah tepat ia mengatakan untuk mencegah stunting diperhatikan sejak pasangan merencanakan kelahiran seorang anak.
Itu artinya pemenuhan gizi yang seimbang dilakukan sejak bayi masih dalam kandungan ibu.
"Padahal kita harus melakukan pencegahan itu sejak dini, sejak calon pengantin merencanakan pernikahan. Kesehatannya harus dijaga, orang tua, calon bapaknya kurangi rokok, hentikan rokok misalnya. Ini yang perlu kita ingatkan terus kepada masyarakat," terang Usman.
Berdasarkan hasil riset yang dilakukan Made Ayu Lely Suratri mengungkap penyebab utama terjadinya stunting pada balita di Provinsi Nusa Tenggara Timur adalah usia anak, tingkat pendidikan ibu, dan tempat tinggal anak.
"Prevalensi stunting tertinggi terjadi pada anak usia 12–23 bulan (45,2%), dengan proporsi stunting menurut jenis kelamin sebesar 37,8% untuk laki-laki dan 37,3% untuk perempuan,"kata Made.
Di sisi lain, hasil riset yang dilakukan Made, menunjukan anak usia 12 – 23 bulan memiliki kemungkinan 2,08 kali lebih besar untuk mengalami stunting dibandingkan anak usia 0 –11 bulan.
"Anak dari ibu yang berpendidikan rendah memiliki kemungkinan 1,57 kali lebih besar untuk mengalami stunting dibandingkan anak dari ibu yang berpendidikan tinggi,"katanya.
Selain itu, ibu dan anak yang tinggal di pedesaan memiliki risiko 1,39 kali lebih tinggi untuk mengalami stunting dibandingkan dengan yang tinggal di perkotaan.
Made menganjurkan penanganan masalah gizi buruk kronis di provinsi NTT harus dilakukan secara linear dan bukan ditangani secara parsial.
"Untuk menurunkan kejadian stunting di Provinsi Nusa Tenggara Timur, diperlukan intervensi yang berfokus pada peningkatan pengetahuan ibu balita tentang kesehatan, pola asuh, dan gizi,"katanya.
Secara keseluruhan, kata Made, perlu dilakukan peningkatan peran kader dalam pemantauan tumbuh kembang balita di Posyandu khususnya di wilayah perdesaan.
165 Miliar Dana Pemerintah Habis untuk Stunting Namun Hasilnya Nihil
Pencegahan masalah stunting di provinsi kepulauan bernama Nusa Tenggara Timur rupanya menemui persoalan serius.
Pasalnya berdasarkan data yang dirilis Aliansi Masyarakat Madani Nasional (AMMAN) FLOBAMORA dan Koalisi Masyarakat Pemberantasan Korupsi Indonesia (Kompak) Indonesia menyebut dana 165 Miliar yang digelontorkan pemerintah provinsi untuk pencegahan masalah stunting periode 2018-2021 tak memberikan manfaat apa-apa alias nihil bagi penanganan kasus stunting di provinsi itu.
Ketua Kompak Indonesia Gabriel Goa mengatakan ketidak sinambungan antara jumlah anggaran yang digelontorkan pemerintah dengan hasil di lapangan dapat dilihat dari masih tingginya kasus stunting di NTT dari tahun ke tahun.
"Ini miris, anggaran besar dialokasikan untuk cegah stunting tapi angka stunting terus naik di NTT,"ucap Gabriel.
Untuk itu Gabriel berharap Komisi Pemberantasan Korupsi perlu turun ke NTT untuk menelusuri potensi korupsi dana pencegahan dan penanganan masalah stunting di NTT.
Ia mengatakan ketidaksesuaian antara besaran dana yang digelontorkan pemerintah dengan hasil yang diperoleh di lapangan perluh ditelusuri.