- -->
  • Jelajahi

    Copyright © Congkasae.com
    Best Viral Premium Blogger Templates

    Iklan

    Kapolres Manggarai Bantah Soal Penganiayaan Jurnalis di Poco Leok

    Tim Redaksi | Editor: Antonius Rahu
    07 Oktober, 2024, 12:13 WIB Last Updated 2024-10-07T07:59:37Z
    Post ADS 1
    Post ADS 1
    Kapolres Manggarai Bantah Soal Penganiayaan Jurnalis di Poco Leok

    [Congkasae.com/Kereba] Kapolres Manggarai AKBP Edwin Saleh membantah adanya kabar soal dugaan penyekapan dan penganiayaan jurnalis yang dilakukan anggota polres Manggarai dalam giat pengamanan pendataan dan identifikasi dan pendataan awal lokasi Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi Poco Leok pada Rabu 2 Oktober lalu.


    Kapolres Edwin mengatakan sejauh ini pihaknya belum menerima laporan soal adanya dugaan tindak pidana penganiayaan dimaksud.


    Ia mengatakan pihaknya menerima laporan warga soal adanya pengrusakan rumah warga yang mengambil sikap mendukung pembangunan proyek PLTP Ulumbu.


    "[soal pengamanan] itu merupakan kewajiban karena kita tahu warga masyarakat yang ada di Poco Leok itu ada yang pro dan ada yang kontra kalau kami tidak melaksanakan pengamanan, siapa yang bisa jamin keamanan di setiap pelaksanaan kegiatan yang ada di Poco Leok sekarang ini,”kata Kapolres Manggarai dalam jumpa pers Sabtu (5/10/2024) kemarin di Ruteng.


    Edwin menegaskan kehadiran aparat keamanan di lokasi dalam rangka melindungi para pihak yang terlibat dalam kegiatan tersebut baik warga yang pro, warga yang kontra termasuk pihak PLN dan pelaku media.


    Kapolres Edwin membantah adanya dugaan tindak pidana penyekapan terhadap jurnalis dalam giat pengamanan lokasi PLTP Ulumbu pada Rabu 2 Oktober lalu dan menyebut tindakan yang diambil oleh anak buahnya sudah sesuai dengan prosedur yang berlaku.



    "Kami wajib mengamankan yang kontra maupun yang pro, karena kehadiran kami untuk mencegah setiap proses tahapan dan gesekan gesekan yang diperkirakan bisa terjadi di lapangan,"ujarnya.


    Edwin membantah narasi penyekapan dan penyiksaan terhadap jurnalis dan pemimpin redaksi Floresa pada Rabu 2 Oktober lalu di Poco Leok seperti yang diberitakan di sejumlah media daring.


    Hal tersebut, kata Edwin, terjadi lantaran yang bersangkutan tak dapat membuktikan status pekerjaannya ketika aparat di lapangan meminta kartu tanda pengenal untuk proses identifikasi terhadap yang bersangkutan di lokasi kejadian.


    "Bahasa yang beredar penyiksaan salah satu Pemred (pemimpin redaksi) dari media Floresa, kami tidak mengatakan yang bersangkutan seorang awak media walaupun faktanya dia seorang awak media, kenapa kami tidak mengatakan atau menggiring yang bersangkutan ini selaku jurnalis karena di saat kita minta pembuktian kalau dia merupakan seorang jurnalis, dia harus menunjukkan kartu identitas jurnalis," katanya.


    Edwin mengingatkan para pelaku media untuk tunduk dan taat pada undang-undang dan peraturan soal pekerja media dalam menjalankan tugas di lapangan.


    Ia memastikan tak ada penyekapan dan penganiayaan jurnalis dalam giat pengamanan di Poco Leok pada 2 Oktober lalu.


    Menurut Edwin polisi di lapangan hanya mengamankan yang bersangkutan agar terhindar dari hal-hal yang tidak diinginkan.


    "Makanya kita amankan supaya tidak jadi korban maupun pelaku tindak pidana dan itu adalah fakta di lapangan. Saya tegaskan jangan ada bahasa di tangkap karena yang kami lakukan adalah mengamankan agar tidak terjadi hal-hal yang tidak diinginkan. Secara SOP kami sudah laksanakan sebelum melakukan pengamanan terlebih dahulu dilakukan apel pengecekan dan APP yang dipimpin oleh Wakapolres Manggarai."terangnya.



    Herry Kabut: Saya Ditangkap Aparat

    Sementara itu Pemimpin Redaksi media daring Floresa.co Herry Kabut mengatakan ia ditangkap oleh aparat keamanan ketika hendak meliput jalannya aksi protes warga Poco Leok soal pembangunan PLTP Ulumbu pada 2 Oktober lalu.


    "Pada 2 Oktober, saya berangkat menuju Poco Leok, Kecamatan Satar Mese, Kabupaten Manggarai setelah mendapat informasi bahwa tiga orang warga adat Poco Leok ditangkap aparat keamanan dalam aksi unjuk rasa menolak proyek geotermal. Informasi itu menggerakkan saya untuk meliput aksi itu,"tulis Herry Kabut seperti dipublikasikan di laman Floresa.co edisi 3 Oktober 2024.


    Herry mengatakan aksi menentang proyek geotermal Ulumbu kala itu diikuti oleh 10 gendang, ia sendiri berangkat dari Ruteng menuju lokasi pada pukul 13:10 dan tiba di lokasi pada pukul 14:00 Wita.


    Herry menjelaskan setibanya di lokasi kejadian mayoritas warga sedang beristirahat usai menyantap makan siang, tampak mobil keranjang milik Polres Manggarai berjejer di lokasi kejadian dengan 3 orang warga Poco Leok serta Polisi Wanita di dalam mobil keranjang tersebut.


    "Beberapa saat kemudian, saya mulai memotret situasi di lokasi itu. Saat itu, tidak satupun aparat keamanan, PT PLN maupun pemerintah yang menegur atau mengimbau untuk tidak mengambil foto dan video,"tulis Herry dalam penjelasannya.


    Ia lantas memotret sekitar 10 gambar di sekitar lokasi gejadian, potretan terakhirnya membidik mobil keranjang milik Polisi beserta 3 orang warga dan 2 polwan di dalamnya.


    Pada saat itulah seorang polisi wanita memanggil Herry dan naik ke atas mobil keranjang milik polisi.


    "Polwan itu menanyakan tujuan saya mengambil gambar itu. Saya menjawab, “saya seorang jurnalis.” Polwan itu lalu bertanya, “jurnalis dari media apa?” yang saya jawab, “dari media Floresa," tulis Pemimpin Redaksi Floresa.co itu.


    Merespons jawaban itu, polwan itu kembali bertanya, “mana ID card?” mengacu pada kartu pers. Herry lalu menjawab jika ia lupa membawa ID Pers akan tetapi ia merupakan seorang wartawan dari Floresa.co dan menjabat sebagai pemimpin redaksi media itu.


    Ketika sedang menjelaskan hal tersebut, Herry melihat beberapa polisi dan sebagiannya berpakayan bebas mendekati mobil keranjang itu dan meminta Herry untuk turun dari mobil.


    "Mereka menuding saya sewenang-wenang naik ke mobil itu, mengatakan seolah-olah itu adalah mobil saya,"tulis Herry.


    Herry mengatakan para polisi itu kemudian memintanya untuk turun dari mobil polisi, ketika ia hendak turun seorang anggota polisi langsung mengunci leher Herry dari arah belakang.


    Beberapa anggota lainnya menggiring dia ke arah timur sejauh 50 meter dari mobil keranjang milik polisi sembari menanyai soal kartu Persnya.


    Menanggapi hal itu Herry berusaha memberi penjelasan kepada polisi jika kartu pers adalah salah satu item untuk menunjukan identitas seorang wartawan masih ada item lain yang bisa digunakan untuk menunjukan identitas seorang wartawan.


    "Tanpa menghiraukan penjelasan itu, mereka terus-terusan menuntut saya menunjukkan kartu pers dan mulai memukul saya, sambil menggiring saya ke samping mobil milik TNI,"tulis Herry.


    Di samping kendaraan milik TNI itu beberapa oknum polisi mulai mencekik leher Herry, meninju kepala, serta wajah Herry serta menendang beberapa bagian tubuh termasuk kaki.


    Aksi itu menurut Herry dilakukan oleh beberapa oknum polisi termasuk seorang oknum Wartawan berinisial TJ.


    Mendapatkan perlakuan itu Herry pun berteriak dan memantik perhatian beberapa orang warga Poco Leok, dan berusaha merekam aksi itu dengan kamera ponsel mereka dari balik semak-semak.


    "Pukulan-pukulan itu menyebabkan pelipis kiri saya bengkak dan lebam serta lutut saya terasa sakit. Cekikan mereka juga membuat rahang kanan dan area hidung saya terluka,"tulis Herry.


    Selain mengalami penganiayaan beberapa barang pribadi milik pemimpin redaksi Floresa itu juga sempat disita aparat termasuk tas, dan ponsel pribadinya.


    "Usai berkali-kali memukul saya, mereka lalu memasukkan saya ke dalam sebuah mobil polisi dan mengunci pintunya,"tulis Herry.


    Selain itu seorang oknum polisi juga sempat membuka pesan watsapp di dalam ponsel pribadi milik Herry, termasuk membuka pesan masuk dari dua rekan jurnalis yang menanyai posisi dan keadaan Herry kala itu.


    Untuk membalas pesan dua rekan jurnalis itu oknum aparat itu meminta Herry membalasnya dengan rumusan jawaban yang dirancang oleh oknum polisi itu.


    Singkat cerita Herry pun dilepas kembali pada sore harinya setelah bersedia memberikan klarifikasi yang direkam dalam format video perihal penahanannya oleh polisi lantaran tidak membawa kartu pers.


    Rekaman klarifikasi itu kini tersebar luas di jejaring sosial khususnya tik tok.


    Menanggapi hal tersebut menejemen Floresa saat ini tengah menghimpun bukti-bukti untuk melaporkan kasus ini melalui jalur hukum.


    "Kami sedang mempersiapkan langkah-langkah hukum agar kejadian ini diproses seadil-adilnya dan tidak terulang kembali. Kami mengharapkan perhatian dan solidaritas semua pihak untuk kelanjutan penanganan kasus ini," ungkap Floresa dalam rilis resminya sebagaimana dikutip laman Viva.

    penganiayaan jurnalis Floresa Herry Kabut di Poco Leok


    Dewan Pers Kategorikan Pelanggaran Berat


    Sementara itu Dewan Pers mengkategorikan insiden kekerasan yang dialami jurnalis Floresa Herry Kabut pada 2 Oktober lalu sebagai bentuk pelanggaran serius.


    Koordinator tim satgas anti kekerasan Dewan Pers Erick Tanjung mengatakan apa yang dialami oleh pemimpin redaksi Floresa itu sebagai bentuk pelanggaran pidana lantaran Herry telah menunjukan surat tugas dengan demikian ia dilindungi oleh undang-undang pers.


    "Itu adalah pelanggaran pidana serius. Jadi aparat yang melakukan kekerasan, ada tiga poin pelanggaran. Pertama kekerasan fisik, kemudian perampasan alat kerja yaitu laptop dan ponselnya, kemudian penghapusan rekaman wawancara dan file," ucap Erick dalam konferensi pers di YouTube floresadotco, Senin (7/10/2024).


    Erick juga mendesak agar para pihak yang melakukan aksi tersebut segera diproses sehingga harus ada mekanisme pemeriksaan secara etik yang melibatkan propam.


    "Termasuk yang melakukan perintah, apakah ada perintah dari Kapolres Manggarai karena ini adalah pelanggaran serius," kata Erick.


    Erick mengaku akan segera menyurati kapolri Jendral Polisi Listyo Sigit Prabowo dalam waktu dekat perihal kasus ini.

    Komentar

    Tampilkan