Umat diaspora Manggarai di Bali berpose bersama usai perayaan misa inkulturasi Manggarai |
[Congkasae.com] Semangat mengejawantahkan unsur budaya lokal kedalam ritus gereja Katolik khususnya di Manggarai rupanya dimulai dari usaha seorang misionaris kelahiran Belanda yang juga menjadi uskup perdana keuskupan Ruteng Mgr Wilhelmus Van Bekkum SVD.
Sebelum Konsili Vatikan II, Mgr Van Bekkum SVD berjuang agar Gereja Katolik lebih peduli terhadap budaya dan adat lokal umat dengan memasukan unsur budaya lokal umat kedalam ritus Gereja Katolik sebagai bagian dari upaya mempermudah pewartaan Injil, di mana umat berkomunikasi dengan Wujud Tertinggi (Supreme Being) dalam bahasa ibu, bahasa lokal daerah mereka sendiri.
Usaha Van Bekkum dan rekan-rekannya rupanya disetujui oleh gereja Katolik dengan adanya sebuah keputusan yang belakangan kita kenal sebagai gerakan inkulturasi.
Jauh sebelum itu, Mgr Van Bekkum telah menggagas sebuah konsep Misa Adak atau yang kita kenal dengan istilah Misa Adat.
Ini adalah sebuah konsep misa, di mana seluruh nyanyian, doa dan ritus misa tersebut dilakukan dalam bahasa Manggarai dan menurut adak Manggarai.
Budayawan Manggarai yang menyelesaikan studi doktoralnya di bidang etnomusikologi, Pater Dr. Vinsensius Adi Gunawan Meka SVD dalam wawancara ekslusif dengan Antonius Rahu mengatakan misa adak yang digagas oleh Mgr Van Bekkum kala itu merupakan bentuk pengejawantahan budaya lokal Manggarai kedalam ritus Gereja Katolik dan sebaliknya pengakaran iman katolik ke dalam budaya lokal.
"Dengannya orang Manggarai menjadi lebih mudah mengkomunikasikan maksud dan isi doanya dengan Wujud Tertinggi yakni Tuhan Sang Pencipta karena dilakukan dalam bahasa mereka sendiri yaitu bahasa ibu, musiknya dalam bentuk mbata, dendek, sanda bahkan danding yang merupakan budaya lokal orang Manggarai itu sendiri," kata budayawan Manggarai Dr Vinsenius Adi Gunawan Meka SVD dalam penjelasannya kepada Congkasae.com Antonius Rahu belum lama ini.
Ia mengatakan, dalam Misa Adak yang digagas oleh Mgr Van Bekkum itu semua umat mengenakan pakaian adat, selain itu doa umat diganti dengan torok raja lima yang dilakukan oleh tua adat di hadapan altar.
"Alat musik yang dimainkan juga berupa alat musik Manggarai seperti Gong dan Gendang yang memiliki nilai sakral yang tinggi,"ujarnya.
Usaha menggali budaya lokal Manggarai dengan ritus Gereja Katolik rupanya tak hanya berhenti pada misa adak seperti yang dipaparkan budayawan Pater Vinsensius.
Bonefasius Jehandut dalam bukunya berjudul "Mgr Wilhelmus Van Bekkum dan Dere Serani" mengulas bagaimana usaha keras Mgr Van Bekkum dalam menerbitkan sebuah buku madah pujian dalam bahasa Manggarai.
Ibadat tanpa lagu madah pujian yang indah berbahasa Manggarai bagaikan sayur tanpa garam. Mungkin itulah spirit awal dari digagasnya buku madah pujian dalam bahasa Manggarai.
Alhasil para komponis lokal termasuk guru-guru di Manggarai Raya dikumpulkan di Ruteng oleh Uskup Van Bekkum kala itu, dengan maksud melakukan penataran di bidang lagu gerejawi Katolik.
Dari penataran itu beberapa komponis lokal Manggarai termasuk para guru menciptakan lagu-lagu bernuansa lokal Manggarai.
Setelah melewati tahapan seleksi yang ketat hasil karya para komponis lokal itu disatukan kedalam sebuah buku madah pujian yang kita kenal sebagai Dere Serani saat ini.
Buku ini pertama kali diterbitkan pada tahun 1955 yang berarti Nyanyian Nasrani itu menjadi satu-satunya buku berbahasa daerah yang digunakan dalam misa harian yang kita gunakan hingga hari ini.
Meski demikian dewasa ini penerapan Misa Adak dan penggunaan Dere Serani dalam misa harian bahkan misa hari raya besar Katolik seperti Natal dan Paskah di kalangan umat kian pudar.
Misa-misa harian di gereja Katolik Manggarai lebih banyak diisi oleh lagu-lagu bernuansa barat atau latin.
Kelompok paduan suara di hari-hari besar misalnya Natal dan Paskah berlomba-lomba menggunakan lagu latin atau lagu berbahasa Inggris yang sayangnya tidak dimengerti apalagi dipahami oleh umat beriman.
Orang Manggarai terjebak dalam hal mengejar euforia dan kemeriahan serta keindahan paduan suara dengan cara menggunakan nyanyian latin namun sayangnya mengabaikan etnistitas lokal Manggarai yang telah diusahakan uskup Ruteng perdana Mgr Van Bekkum SVD.
Kondisi ini rupanya disebut dengan istilah neokolonialisme agama oleh dosen dan pengajar sosiologi Universitas Nusa Cendana (Undana) Lasarus Jehamat.
Menurut Lasarus dengan adanya penggunaan bahasa latin dalam nyanyian paduan suara misa-misa di dalam gereja katolik Manggarai secara tak langsung sedang mempraktikkan neokolonialisme agama.
"Hebat apanya bahasa latin, padahal kita punya bahasa ibu jauh lebih hebat apabilah dibandingkan dengan penggunaan bahasa latin yang umat tidak paham apalagi mengerti, menggunakan bahasa latin itu sebenarnya kita ini sedang disublimasi," kata Lasarus Jehamat menjawab pertanyaan congkasae.com.
Di sisi lain Lasarus Jehamat juga menyoroti rendahnya penggunaan atribut adat seperti songke dan songkok termasuk saput di kalangan kaum muda Manggarai ketika hendak ke gereja.
Pantauan media ini keuskupan Ruteng memang sempat memberlakukan aturan penggunaan songke dalam perayaan misa inkulturasi Manggarai di minggu ketiga setiap bulan.
Akan tetapi praktik aturan itu sudah lama tak dijalankan di beberapa paroki di wilayah keuskupan Ruteng salah satunya di paroki St Theresia Mbata, kevikepan Borong.
Di paroki ini mayoritas umat khususnya kaum muda masih menggunakan busana jeans dan rok ketimbang memakai kain songke ketika menghadiri misa inkulturasi Manggarai.
Meski demikian misa inkulturasi budaya Manggarai itu saat ini sudah tak dijalankan sama sekali, di sisi lain media ini merasa sulit ketika melakukan konfirmasi kepada pihak paroki lantaran keputusan tim keuskupan Ruteng yang kerap kali mengutak atik penugasan pastor paroki di paroki St Theresia Mbata.
Sosiolog universitas Nusa Cendana Kupang Lasarus Jehamat mengatakan memudarnya kecintaan akan bahasa dan produk lokal ditambah lagi dengan adanya determinasi budaya luar yang masuk secara simultan menjadi penyebab utama adanya neokolonialisme agama di Manggarai.
"Akibatnya orang Manggarai menjadi lebih mengakui budaya dan bahasa luar ketimbang budaya dan bahasa sendiri, ini yang menjadi pekerjaan rumah bagi pihak terkait seperti institusi gereja katolik dan sekolah-sekolah di Manggarai,"kata Lasa.
Di sisi lain semangat inkulturasi budaya Manggarai di dalam ritus Gereja Katolik justru menguat di kalangan para diaspora Manggarai yang berada di Bali keuskupan Denpasar.
Hal tersebut diakui anggota komisi publikasi keuskupan Denpasar Bali Hirnonimus Adil, yang berbicara kepada congkasae.com melalui sambungan telepon.
Ia mengatakan spirit inkulturasi Manggarai di kalangan umat katolik asal Manggarai di pulau Bali sangatlah tinggi.
Hal tersebut terlihat dari tingginya keterlibatan umat katolik Manggarai dalam menghadiri perayaan-perayaan misa inkulturasi budaya di beberapa gereja paroki di keuskupan itu termasuk di gereja paroki Rohkudus katedral Denpasar.
"Di sini umat katolik khsususnya orang Manggarai sangat antusias menghadiri misa inkulturasi budaya Manggarai, mayoritas mereka mengenakan busana kain songke, mengenakan saput atau topi songkok di kepala ketika mengikuti perayaan misa, antusiasme mereka sangat luar biasa,"kata Hironimus Adil yang dihubungi congkasae.com melalui sambungan telepon.
Ia mengatakan keuskupan Denpasar melalui paroki-paroki memberi ruang yang sangat terbuka bagi semua etnis untuk menyelenggarakan misa inkulturasi di wilayah keuskupan Denpasar.
"Jadi bukan hanya inkulturasi Manggarai, ada juga inkulturasi Lamaholot, Inkulturasi Jawa, dan itu semua diberi ruang di paroki-paroki, seperti yang dilakukan di paroki st Yosef Denpasar belum lama ini, yakni inkulturasi Manggarai, jadi tata perayaan menggunakan bahasa Indonesia dan lagu lagunya berbahasa adat Manggarai, ada torok tae nya terus lagu nya menggunakan teks Dere Serani, dan orang Manggarai datang ke gereja mengenakan songke ini sangat luar biasa,"kata Hiro.
Ia merasa lebih mencintai budaya Manggarai serta memiliki keintiman dengan Tuhan ketika mengikuti misa inkulturasi Manggarai, lantaran dilakukan di tanah rantau, apalagi ketika dere serani dinyanyikan dalam gereja.
"Jadi rasanya seperti merinding, karena unsur kesakralannya apalagi kita berkomunikasi dengan Tuhan Sang Pencipta menggunakan bahasa kita sendiri yakni bahasa Manggarai, rasanya sangat dekat dengan sang pencipta,"tambahnya.
Sementara itu budayawan Manggarai yang saat ini bertugas di negara Jerman mengakui adanya kemunduran dalam praktik inkulturasi budaya di dalam ritus-ritus gereja katolik Manggarai.
Hal tersebut dirasakan pater Vinsensius ketika kembali ke tanah kelahiran Manggarai dalam beberapa tahun terakhir ini.
Ia mengatakan Inkulturasi Manggarai merupakan sebuah mahakarya beberapa tokoh Gereja Katolik dalam konsili vatikan II salah satunya uskup ruteng pertama Mgr Wilhelmus Van Bekkum SVD.
"Inkulturasi itu sebenarnya upaya gereja Katolik dalam mengangkat budaya dan bahasa lokal, untuk disaring dan disucikan untuk dipraktikkan dalam ritus Gereja Katolik, jadi intinya orang menjadi lebih mudah dan paham dalam berkomunikasi dengan Tuhan dalam bentuk bahasa dan budaya lokal mereka sendiri,"ujar Pater Sensi.
Ia mengatakan spirit kelokalan itu diejawantahkan dalam bentuk inkulturasi atau yang kita kenal dengan nama misa inkulturasi saat ini.
"Melalui misa inkulturasi, orang Manggarai lebih mudah mengerti tentang ajaran Kristus karena semua ritusnya disampaikan dalam bahasa Manggarai, mulai dari bacaan, lagu-lagu, sampai pada persembahan berupa torok raja lima, itu semua pakai bahasa ibu, bahasa Manggarai,"kata pastor Vinsensius.
Ia mencontohkan bagaimana misa inkulturasi di negara-negara Eropa timur yang dilakukan secara sempurna, termasuk misa inkulturasi Jawa atau inkulturasi Bali.
"Mengapa inkulturasi Jawa atau Inkulturasi Bali itu bisa dijalankan hingga sekarang,"tanya Pater Vinsensius.
Menurutnya perluh kesadaran dari semua elemen dalam mempraktikkan misa inkulturasi di tanah Manggarai. Meski di sisi lain ia mengakui perlu komitmen dari seluruh elemen dalam menjalankan misi ini.
"Dengan tidak menyalahkan modernitas, kita terlalu mengagung-agungkan budaya dan bahasa luar, ketimbang budaya lokal sendiri, sehingga akhirnya timbul pemahaman dalam diri bahwa sesuatu yang berbau budaya lokal itu sangat kolot, ketinggalan zaman dan sebagainya. Inilah salah satu faktor yang menggerus kecintaan budaya lokal di kalangan orang Manggarai,"terang pater Vinsensius.
Ia mengakui kekhawatiran akan hilangnya unsur budaya lokal dalam ritus dan perayaan liturgi gereja Katolik di Manggarai sudah sampai ke telinga para misionaris di Eropa.
"Di Eropa saya ditanyai oleh teman-teman misionaris soal hilangnya unsur identitas lokal setempat dalam beberapa kali peryaan tahbisan uskup yang digelar di Flores termasuk di Manggarai beberapa tahun terakhir. Mereka yang peduli dengan adat dan budaya lokal ini khawatir, suatu saat spirit inkulturasi di Flores khsusnya di Manggarai akan hilang," katanya.
Dalam hal ini pater Vinsensius mengaku bingung ketika ditanyai rekan sesama imam soal praktik inkulturasi budaya di kalangan gereja katolik lokal Manggarai.
"Saya harus jawab bagaimana? Kondisinya memang seperti itu, yang terjadi di Manggarai saat ini,"katanya.
Di sisi lain penggunaan Dere Serani di kalangan umat yang cenderung memakai nyanyian berbahasa latin dalam misa harian gereja di Manggarai juga menjadi sorotan budayawan Manggarai ini.
Menurutnya banyaknya lagu-lagu yang diciptakan komponis-komponis lokal di Manggarai yang tak kalah menariknya menjadi latar belakang kurangnya pemakaian Dere Serani di dalam misa harian gereja.
Kondisi tersebut diperparah oleh tak adanya unsur kebaruan dalam edisi terbaru Dere Serani, yang terjadi saat ini. Dere Serani hanya dicetak ulang dari edisi sebelumnya dengan kondisi tak ada unsur kebaruan dari isi lagu-lagu di dalamnya.
"Padahal kita punya komponis lokal dengan kualitas lagu-lagunya tak kalah menarik dan luar biasa, harusnya lagu-lagu yang diciptakan itu dilaporkan ke paroki setempat, lalu tugas komisi liturgi keuskupan yang menyeleksi, memberi label, menyelaraskan makna yang tersirat dalam lirik lagu, untuk kemudian dicetak kedalam bentuk buku Dere Serani, sehingga ada kebaruan dalam setiap edisi cetakan,"ujarnya.
Ia khawatir tak adanya tim ahli yang mengurusi masalah lagu-lagu rohani di keuskupan juga menjadi penyebab utama dari adanya masalah ini. "Akan tetapi kalau soal tim ahli saya pikir kita orang Manggarai punya banyak tim ahli yang berada di luar, kan bisa pakai mereka,"papar pater Vinsensius.
Anggota komisi publikasi keuskupan Denpasar Bali, Hironimus Adil memberi masukan dalam hal perayaan misa inkulturasi Manggarai khsusnya di keuskupan Ruteng dan keuskupan Labuan Bajo.
Menurutnya mahakarya uskup Ruteng pertama Mgr Van Bekkum harusnya dilestarikan secara turun temurun karena Van Bekkum salah satu tokoh pencetus lahirnya misa inkulturasi di dalam gereja Katolik dalam konsili vatikan II.
"Sebaiknya gereja-gereja paroki di wilayah keuskupan Ruteng dan Labuan Bajo menghidupkan kembali misa inkulturasi Manggarai di minggu ketiga itu, seperti halnya yang dilakukan oleh paroki-paroki di keuskupan Denpasar, ketika misa inkulturasi Bali misalnya orang-orang ke gereja mengenakan busana adat Bali, bacaannya juga berbahasa Bali, lagu yang dinyanyikan juga berbahasa Bali, jadi kalau itu dijalankan di semua paroki di keuskupan Ruteng dan Labuan Bajo saya pikir alangka indahnya hal itu, karena orang lebih paham dan dekat serta mencintai gereja Katolik justru karena budaya dan bahasa dijadikan bahasa dalam berkomunikasi dengan Tuhan dan itu jauh lebih intim,"saran Hironimus Adil.
Sementara itu komponis serta budayawan Manggarai pater Vinsensius Adi Gunawan Meka merasakan bahasa Manggarai merupakan bahasa paling efektif dalam berkomunikasi dengan Tuhan.
"Saya sudah keliling ke Eropa, dengan beragam budaya termasuk lagu, dan saya rasa lagu berbahasa Manggarai tak ada tandingannya dengan lagu latin, lagu berbahasa Inggris, Polandia, Jerman. Saya lebih dekat dan lebih intim berkomunikasi dengan Tuhan ketika itu disampaikan dalam bahasa saya, bahasa Ibu yang saya paham saya mengerti dan itu adalah bahasa Manggarai,"terang Pater Sensi.
Di sisi lain Budayawan Manggarai Pater Sensi menilai tanggung jawab untuk mengembalikan rasa cinta akan budaya Manggarai ini tak akan bisa dilakukan secara parsial tanpa adanya keterlibatan secara bersama sama institusi gereja, sekolah dan tokoh masyarakat.
"Saya senang melihat sekolah-sekolah menengah Katolik di Ruteng mempraktikkan torok, dan itu dilombakan ini bagian dari peran institusi pendidikan dalam melestarikan budaya. Selanjutnya, hidupkan kembali lembaga adat, sanggar budaya di desa-desa, sementara Gereja perlu menggalakkan kembali misa inkulturasi Manggarai dan penggunaan Dere Serani," pinta Pater Sensi.
Gagasan itu juga diamini oleh sosiolog Undana Kupang Lasarus Jehamat yang menilai peran serta lembaga adat, institusi pendidikan dan gereja Katolik di Manggarai amatlah penting dalam mengembalikan situasi kolonialisme agama di Manggarai ke posisi merdeka dari nekolonialisme agama.
"Tanpa adanya kerja sama, kerja kolaboratif ketiga institusi ini amatlah berat,"kata Lasarus Jehamat.