- -->
  • Jelajahi

    Copyright © Congkasae.com
    Best Viral Premium Blogger Templates

    Iklan

    Festival Cahaya

    Kolumnis| Congkasae.com
    21 Desember, 2024, 15:01 WIB Last Updated 2024-12-21T08:01:37Z
    Post ADS 1
    Post ADS 1
    Sandryaka Harmin Festival Cahaya

    Oleh: Sandryaka Harmin*

    “Di dunia ku matahari boleh terbit dari barat. 

    Tapi jangan sampai dia tenggelam di gorong-gorong”

    Sore itu terdengar salak anjing dari kejauhan membelah kabut tebal yang membentang menyelimuti lembah sepanjang kampung. Di ujung barat nampak mentari setengah tenggelam. 


    Semburat orange-nya terpancar memenuhi kawasan kampung dan sekitarnya. Ratusan lampu LED menyala terang dari rumah-rumah warga. 


    Beberapa orang nampak baru pulang dari ladang dan sawah. Bapak-bapak memikul kayu api. Ibu-ibu memikul keranjang. Isinya macam-macam, ubi-ubian, sayur-sayuran, buah-buahan, dan lain-lain. 


    Tapi tak jarang pula mereka pulang tanpa memikul atau membawa apa-apa. Di halaman kampung, anak-anak yang sedari tadi bermain mulai bubar satu per satu menghentikan permainannya. 


    Beberapa orang pemuda mulai berjubel di warung-warung atau tempat biasanya nongkrong. Satu dua batang rokok mulai mereka bakar dan sulut dalam-dalam. 


    Asapnya mengepul menerobos dinginnya cuaca malam itu. Sementara itu beberapa orang dari mereka mulai menjerang air untuk membuat kopi. Perbincangan santai sepanjang malam itu sepertinya akan seru.


    Sekilas begitulah potret suasana Kampungku. Damai, tenang, dan asyik. Aku menyebutnya Festival Cahaya.


    Tapi itu adalah 10 tahun lalu. Waktu yang sudah pasti bukan singkat lagi. Aku tumbuh besar di kampung ini. Sekarang kampung telah berubah menjadi neraka. 


    Ya bukan salah memang betul neraka. Aku lebih suka menyebutnya neraka dari pada penambangan batu bara. 


    Pemandangan yang sungguh miris. Pohon-pohon yang dulu berdiri rindang kini telah musnah diganti pemandangan gundul nan gersang dengan lubang dan becek lumpur di jalur truk - truk pengangkut. Jumlahnya puluhan.


    Oleh pemerintah orang-orang kampung dievakuasi ke negeri antah berantah. Nasib mereka kemudian tak pernah dihiraukan lagi. 


    Evakuasi, kata yang lebih cocok disematkan ketimbang migrasi. Sebab bagiku proyek ini adalah bencana bagi rakyat kecil dan berekonomi lemah seperti orang-orang di kampungku.


     Hasilnya hanya dinikmati oleh segelintir oligarki dan penguasa yang rakus harta dan jabatan.


    Di bawah slogan Proyek Strategis Nasional. Para pemangku dan pamong kekuasaan negeri ini gatal dan getol mencari sumber daya dan membuka begitu banyak proyek. 


    Bukan hannya kampungku di tempat lain jutaan hektar hutan rela mereka babat habis demi isi perutnya sendiri. Mengerikan


    Republik ini telah menjadi republik yang menakutkan.


    Aku mulai bertanya-tanya, apakah negeri ini benar-benar peduli pada rakyat kecil? Ataukah semua hanya sebuah sandiwara, sebuah cerita manis yang hanya bisa dinikmati oleh segelintir orang yang berkuasa? 


    Ketika aku melihat tanah yang dulu subur kini tandus, ketika aku mendengar suara truk yang memecah kesunyian kampungku, aku mulai merasa seperti seorang asing di tanah kelahiranku sendiri.


    Semua ini, semuanya, hanyalah sebuah permainan untuk mereka yang berkuasa. Mereka menganggap kami sebagai angka, statistik yang hanya dapat dihitung dan dipindahkan begitu saja


    Kurasa bukan hanya kampungku saja yang berubah jadi neraka tapi seluruh negeri, di mana pun itu. Sampai ke pelosok-pelosok. 


    Benar-benar sebuah negeri yang menakutkan. Para pemimpinnya sudah jadi iblis seperi di neraka. Padahal dalam sejarah, negeri ini adalah potongan surga. 


    Di taruh Tuhan di lintasan khatulistiwa. Dari ujung ke ujung berlimpah sumber kehidupan. Namun naas, kini semua hampir musnah dan terancam punah. 


    Soal nilai dan budaya. Lebih parah lagi. Di mana-mana tak ada lagi sopan santun, tata krama jadi basi, hormat menghormati adalah barang lapuk. 


    Mungkin sedikit lagi nilai-nilai luhur itu hanya akan jadi artefak di museum-museum_itupun kalau ada mesumnya.


    Ketika malam semakin larut, udara yang tadinya masih menyejukkan kini mulai terasa dingin menusuk tulang. Di balik hiruk-pikuk yang mulai memudar, pikiranku terus melayang, terjebak dalam kegelisahan yang kian mendalam. 


    Suara truk-truk pengangkut batu bara masih bergema, tak mengenal waktu. Lampu jalan yang dulu hanya temaram kini berpadu dengan lampu-lampu neon yang memancar terang dari kawasan penambangan. 


    Aku tak bisa lagi mengenali kampungku seperti dulu. Semua berubah, dan yang lebih mengerikan, perubahan itu tampaknya tak akan pernah berhenti.


    Aku ingat saat-saat di mana kami masih bisa mendengar suara jangkrik di malam hari, atau mendapati bulan penuh yang sinarnya meresap lembut ke dalam setiap sudut kampung. 


    Saat-saat itu sudah sangat jauh, seperti kenangan yang semakin pudar, dibawa oleh derasnya arus waktu. 


    Kini, di tempat yang sama, pemandangan yang menyedihkan selalu menyambutku: bukit-bukit yang dulu hijau kini tandus dan tergerus.


    Aku dan para warga kampung tahu, bahwa yang terjadi di kampung kami adalah gambaran kecil dari yang lebih besar, sebuah sistem yang merampas hak-hak rakyat kecil. 


    Kami adalah korban dari proyek-proyek besar yang tidak pernah memperhitungkan dampaknya pada kehidupan kami.



    Kami pun tahu melawan bukanlah perkara mudah. Mereka yang menguasai semua ini memiliki kekuatan yang tak terbayangkan. 


    Tapi di sisi lain, kami tak bisa lagi mundur. Mungkin kami tak bisa mengalahkan mereka yang menguasai tanah ini, tapi kami tak ingin melihat kampung yang kami cintai ini benar-benar hilang begitu saja. 


    Jika tidak sekarang, mungkin tak ada lagi kesempatan. Namun, semakin lama, semakin jelas bahwa perjuangan ini bukan hanya melawan perusahaan penambang, tetapi juga melawan sebuah sistem yang sudah terlalu besar, terlalu kuat, dan terlalu kejam. 


    Seperti sebuah roda gigi yang terus berputar, menghancurkan apa saja yang ada di jalannya tanpa peduli siapa yang terlindas.


    Kami berusaha mengumpulkan lebih banyak dukungan. Tetapi, dalam hati aku mulai merasakan sesuatu yang lebih mengerikan: apakah semua ini benar-benar akan membawa perubahan? 


    Ataukah kami hanya akan menjadi bagian dari roda besar yang terus berputar tanpa arah?


    Kami tak tahu pasti apa yang akan terjadi selanjutnya, tetapi satu hal yang pasti: kampung kami, yang dulunya adalah tempat yang penuh kedamaian, kini telah menjadi medan pertempuran. 


    Bukan hanya melawan penambangan, tetapi melawan sistem yang telah mengabaikan kami. Aku tak bisa lagi menganggap kampungku sebagai tempat yang aman. 


    Kini, kami hidup dalam bayang-bayang ketakutan, dan setiap langkah kami terasa seperti taruhannya adalah nyawa.


    “Negeri ini sudah berubah menjadi neraka bagi banyak orang,

     terutama bagi mereka yang tak punya kuasa untuk melawan. 

    Perlahan - lahan ribuan festival cahaya di seantero negeri 

    mulai redup menyisakan kenangan yang juga kian memudar”

    Sandryaka Harmin
    Sandryaka Harmin


    Bionarasi Penulis: 

    Sandryaka Harmyn. Akrab disapa Taye ini adalah pria kelahiran Manggarai Timur. Saat ini dia sedang studi hukum di Fakultas Hukum Universitas Nusa Cendana, Kupang.  


    Komentar

    Tampilkan

    ads