Pater Stef Wrosz SVD di bandara Internasional Komodo/Foto Congkasae.com |
[Congkasae.com/Lejong] Pada tahun 1965 Pater Stef Wrosz SVD yang baru ditahbis menjadi imam 3 tahun sebelumnya memilih meninggalkan negaranya Polandia menuju Indonesia demi menjalankan misi imamatnya.
Ini merupakan misi resmi yang pertama setelah negara Polandia yang menganut paham komunis kala itu melarang para misionaris untuk berkarya ke luar negeri.
Misi itu bermula dari usaha pastor asal Indonesia yang menjabat sebagai duta besar Indonesia untuk Polandia yakni Pater Yosef Diaz Vierra SVD yang meminta sebanyak-banyaknya imam untuk melayani umat Katolik di Indonesia.
Maka beberapa imam muda beramai-ramai mendaftarkan diri termasuk pater Stanis Ograbek SVD, dan pater Stef Wrosz SVD, meski ada pula yang ditentukan oleh pemimpin mereka.
Pater Stef Wrosz bersama 20 misionaris muda ordo Serikat Sabda Allah lainnya merupakan kelompok misionaris pertama yang diberangkatkan dari Polandia secara resmi.
Beberapa rekan imam yang ikut dalam perjalanan kala itu yakni pater Stanis Wyparlo SVD, Pater Stanis Ograbek SVD dan masih banyak imam lainnya.
Pater Stanis Ograbek SVD dalam bukunya berjudul "Demi Kebenaran Bertualang di Ladang Tuhan" mengisahkan bagaimana perjalanan kelompok misionaris Eropa ini hingga akhirnya tiba di Indonesia.
Usai mengurus dokumen keberangkatan mereka berupa paspor, 20 orang misionaris dari serikat sabda Allah itu meninggalkan Ibu Kota negara Polandia Warsawa pada sekitar pukul 18.00 melewati pegunungan Alpen menggunakan kereta api menuju Roma.
Mereka tiba di Indonesia setelah melewati perjalanan jauh, melewati Roma dan transit di India sebelum akhirnya mendarat di Jakarta.
Di Jakarta mereka dikirim ke keuskupan Agung Ende untuk belajar bahasa sebelum akhirnya diberi tugas melayani di paroki-paroki.
Setelah dirasa bisa menguasai bahasa Indonesia para misionaris muda ini dipindahkan ke keuskupan Ruteng sementara beberapa orang diantara mereka melayani paroki di wilayah keuskupan agung Ende, sementara yang lainnya diutus ke pulau Timor.
"Kami naik truk kayu, dengan kondisi jalan berbatu menuju Ruteng, ini merupakan perjalanan yang menyenangkan bagi kami karena kondisi bentang alam Flores yang berbukit-bukit kami senang,"tulis pater Stanis Ograbek dalam bukunya Demi Kebenaran berkarya di Ladang Tuhan.
Stanis Ograbek mengatakan bahwa perjalanan mereka ke keuskupan Ruteng sempat singgah di beberapa tempat termasuk melakukan pendakian ke puncak gunung Ebulobo.
"Kami menginap di rumah salah seorang guru agama yang sangat baik dan ramah menerima kami, keesokan harinya kami melakukan pendakian ke puncak gunung Ebulobo dengan bantuan beberapa orang anak kecil,"kata Stanis Ograbek.
Ia merasa senang dengan kondisi alam Flores yang masih sangat asri meski terdapat kekurangan terutama kondisi masyarakat yang masih belum maju seperti di Eropa kala itu.
Dalam pembicaraan dengan media ini pada awal April tahun 2022 silam pater Stef Wrosz mengatakan bahwa kondisi masyarakat di Manggarai pada saat mereka tiba pertama kali masih memprihatinkan.
"Kelaparan dimana-mana, penyakit juga kerap melanda umat dengan akses ke pusat kesehatan sangat terbatas,"kata pater Stef Wrosz.
Ia mengatakan kondisi tersebut yang memaksa beberapa rekan imamnya bertindak sebagai mantri dengan memberikan obat kepada umat yang menderita sakit.
Sementara itu dalam perjalanan menuju Ruteng kelompok misionaris muda ini masih mendapatkan tantangan terutama soal akses jalan menuju Ruteng yang masih tanpa aspal.
"Kami berangkat menggunakan mobil truk di dalamnya berjejal dengan barang, truk itu tanpa atap, memasuki hutan Puar Mese tiba-tiba hujan turun, kami menggunakan terpal sebagai atap dengan kondisi jalan yang berbatu,"tulis pater Stanis Ograbek dalam bukunya.
Setibanya di keuskupan Ruteng para misionaris muda ini mendapatkan tugas untuk melayani di paroki-paroki.
Pater Stefan Wrosz SVD meminta kepada provinsial SVD untuk ditempatkan di wilayah paroki paling dingin di Manggarai.
Provinsial kemudian menugaskan pater Stef di paroki Lengor kevikepan Borong. Akses ke wilayah paroki ini masih menggunakan kuda.
"Jadi saya kemana-mana kalau mau patroli naik kuda menyusuri jalan sempit yang penuh semak belukar,"kata pater Stef Wrosz SVD dalam pembicaraan dengan media ini di Labuan Bajo awal April tahun 2022.
Ia mengatakan kondisi umat di wilayah parokinya sangat memprihatinkan dengan kondisi kerap dilanda penyakit malaria, cacar dan sebagian umat masih menggunakan tarik pakayan yang hanya menutupi area kemaluan.
"Tidak ada baju seperti sekarang ini,"kata pater Stef.
Melihat kondisi itu, pater Stef menulis surat ke Polandia untuk membantu umat di wilayah parokinya.
Beberapa hal penting yang diminta oleh pater Stef kepada donaturnya di Polandia kala itu adalah pakayan, obat-obatan termasuk susu.
"Lalu mereka dari Polandia kirim itu untuk saya, di sini saya bagi-bagi kepada umat melalui dewan paroki jadi saya tahu siapa yang paling membutuhkan,"ujar pater Stef.
Ia mengatakan karena sering membagi susu untuk umat demi mengentas kekurangan gizi yang dialami umat ia kerap dijuluki pastor susu.
Ia tidak merasa keberatan dengan julukan itu, baginya misi utamanya adalah melayani umat.
Usai melayani umat di paroki Lengor, pastor Polandia ini menginisiasi pembangunan paroki Wukir.
Ini adalah proyek pembangunan paroki pertamanya di Manggarai, setelah pihak gereja memperoleh tanah yang luas dari umat setempat.
"Kondisi Wukir itu sangat subur mungkin daerah paling subur di Manggarai, tapi hanya mengandalkan air hujan,"kata pater Stef.
Kondisi itu memaksanya untuk menanami lahan milik paroki dengan tanaman komoditi pertanian bernilai jual seperti kelapa dan cengkeh.
Usai membangun paroki Wukir, ia kembali membangun paroki Mamba setelahnya pastor Susu ini dipindahkan ke paroki Tilir lantaran pastor paroki sebelumnya menderita stroke.
Setelah beberapa tahun melayani umat di paroki Tilir pater Stef Wrosz kembali dipindahkan ke paroki Mukun dimana pastor paroki sebelumnya pater Yan Olesky SVD dipindahkan ke Paroki Todo.
Di paroki ini pater Stef merasakan wilayah paroki yang harus dilayaninya sangatlah luas dengan kondisi topografi yang ekstrim.
Ia lalu melakukan pemekaran paroki Mukun menjadi paroki baru dengan Mbata sebagai pusat parokinya.
"Makanya lahirlah paroki Mbata itu dengan nama St Theresia dari kanak-kanak Yesus sebagai santa pelindung,"ujar pater Stef.
Dua tahun setelah pater Stef membangun paroki Mbata, ia yang menginginkan menjadi pastor paroki di Mbata rupanya harus menghadapi tantangan lantaran usia pensiunnya yang sudah tiba.
"Saya punya pastor rekan akhirnya menjadi pastor parokinya,"kata Stef Wrosz.
Ia lalu menjalani masa pensiun di paroki Mbeling Rehes, di sana ia sempat membangun paroki Mbeling Rehes termasuk gereja stasi Perang atas usulan vikep Borong Romo Beny Jaya.
Saat ini pater Stef memilih rumah ret-ret Pius XII Kisol sebagai tempat menghabiskan masa tuanya.
Baginya Manggarai sudah terpatri di dalam jiwa dan sanubari,"saya tidak mau kembali ke Polandia karena di sana tidak ada yang mengenali saya,"ujar pater Stef.
Ia mengatakan dari sembilan bersaudara ia merupakan anak bungsu delapan orang kakaknya sudah meninggal dunia.
"Kalau di Manggarai banyak yang mengenal saya, sering dikunjungi oleh umat,"ujarnya.
Usai menghabiskan waktunya dengan melayani umat katolik di Manggarai ia melihat perubahan kehidupan umat yang jauh lebih baik bila dibandingkan tahun 1966 ketika mereka pertama kali ke Manggarai.
"Sekarang di Manggarai sangat maju, tidak lagi ada bencana kelaparan, semua orang sudah makan nasi, dulu makan jagung makan ubi, terus akses ke kesehatan sangat mudah, jalan-jalan sudah dibangun sampai ke desa-desa, sekolah-sekolah sudah tersebar hingga ke pelosok, ini yang harus disyukuri,"kata pater Stef.
Dari sisi pelayanan kepada umat Katolik menurut misionaris kelahiran Eropa ini saat ini Manggarai Jauh lebih baik bila dibandingkan tahun-tahun awal mereka merintis tugas kegembalaan di tanah Manggarai.
Ia mengatakan infratruktur jalan yang sudah dibangun hingga ke pelosok-pelosok memudahkan para imam dalam melakukan pelayanan ke stasi-stasi.
"Dulu kami naik kuda, melakukan patroli ke wilayah stasi, menyusuri jalan sempit tidak seperti sekarang,"kisa pater Stef Wrosz SVD.
Kondisi patroli dengan menggunakan kuda sebagai alat transportasi itu juga disampaikan pater Stanis Ograbek SVD dalam bukunya.
Stanis Ograbek yang sempat diperbantukan di paroki Mukun kala itu mengatakan di wilayah paroki biasanya terdapat seorang anak yang khusus memelihara dan mengurusi kuda.
Anak ini biasanya selalu menemani pastor ketika melakukan patroli, tugas utamanya adalah mengurusi kuda tunggangan pastor termasuk kuda pengangkut beban.
"Jika pastor melakukan patroli ke suatu kampung anak ini bertugas memandu jalannya kuda sang pastor dengan kuda pengangkut bebannnya,"kata pater Stanis Ograbek dalam bukunya.
Untuk melakukan patroli di wilayah paroki Mukun kala itu pastor paroki Frans Galis kerap menggunakan dua buah peti yang diangkut menggunakan kuda.
"Peti ini seringkali dianggap sebagai tempat untuk menaruh anak kecil oleh warga, makanya ketika melihat pastor anak-anak berlarian karena takut,"tulis Pater Stanis.
Ia mengatakan padahal yang ada dalam peti yang diangkut menggunakan kuda itu merupakan barang-barang kebutuhan pelayanan untuk umat seperti hosti anggur termasuk kebutuhan obat-obatan.
Dari sekian banyak misionaris yang bertugas di Manggarai seperti Frans Galis SVD, Pater Yurai Voyencyak SVD, pater Jan Olesky SVD memilih kembali ke negaranya ketika memasuki masa pensiun.
Kendati demikian ada pula pastor yang enggan kembali termasuk pater Stef Wrosz SVD, yang lebih memilih Manggarai sebagai tempat menghabiskan masa tuanya.
Pater Stef memilih Manggarai sebagai tempat pertama dan terakhir dalam hidupnya, kecintaannya akan tanah Manggarai melebihi rasa cinta yang dimiliki orang Manggarai.
"Kalau mau ketemu saya datang ke rumah ret-ret di Kisol,"kata Pater Stef Wrosz SVD.
BACA JUGA
Jejak Pater Jan Olecky di Tanah Misi Manggarai
Pater Ernest Waser SVD, Misionaris dan Tokoh Pendidikan Manggarai
Pater Stanislaw Ograbek SVD Pastor pembangun Tanah Manggarai