- -->
  • Jelajahi

    Copyright © Congkasae.com
    Best Viral Premium Blogger Templates

    Iklan

    Mendi, Kraeng dan Potret Perbudakan di Tanah Manggarai

    Penulis: Antonius Rahu | Editor:Tim Redaksi
    16 April, 2025, 11:43 WIB Last Updated 2025-04-16T04:52:57Z
    Post ADS 1
    Post ADS 1

     
    Mengenal Mendi sistem perbudakan orang Manggarai Zaman dulu

    Mendi adalah sebutan untuk budak di Manggarai yakni orang-orang yang ditawan akibat kekalahan dalam suatu peperangan atau mereka yang tak punya kekuatan dalam melawan serangan dari kraeng

    [Congkasae.com/Sosial Budaya] Kata Mendi dalam bahasa Manggarai dewasa ini kerap dirujuk dalam bahasa-bahasa resmi adat yang menggambarkan posisi atau kedudukan sosial dalam masyarakat.


    Hal tersebut dapat dilihat dalam go'et torok tae di gereja katolik misalnya dalam ungkapan berikut "ite kali ine rinding wie agu ame rinding mane dami anak dom, te lekang salang pe'ang agu palong salang lako dami mendi".


    Ungkapan ini menggambarkan struktur sosial dimana orang Manggarai menempatkan Tuhan sang pencipta sebagai pemilik jagat sementara kita manusia hanyalah anak dan pekerja.


    Meski demikian kata Mendi itu sendiri lahir dari sejarah panjang yang memiliki titik kelam di masa lampau.


    Mendi yang didefenisikan sebagai budak dalam bahasa Indonesia merupakan sebuah sebutan untuk orang-orang yang ditawan akibat kalah dalam suatu peperangan di masa lalu.


    Misalnya dalam peperangan antara kerajaan Gowa dan kerajaan Bima di wilayah Reo, Daeng Tamimal kalah dalam pertempuran itu yang berujung pada pelariannya ke Sulawesi.


    Akibatnya wilayah kekuasaan kerajaan Gowa di Reo dijarah oleh pasukan Bima dan orang-orang tahanannya dijadikan budak untuk kerajaan Bima. (Coolhaas 1942:164-165).


    Sistem perbudakan semacam ini lazim terjadi di tanah Manggarai kala itu, pasalnya budak yang memiliki kewajiban dan harus mengabdikan dirinya kepada tuannya memiliki keuntungan bagi sang tuan.


    Lorens Janggu salah seorang tokoh adat suku Rangga di tanah Manus Manggarai Timur mengatakan sistem perbudakan di tanah Manus Manggarai Timur juga sangat lazim ditemukan pada masa lampau.


    "Dulu siapa yang jago berkelahi, memiliki kekuatan seperti ilmu kebal dialah yang paling banyak memiliki mendi (budak),"kata Lorens Janggu tokoh adat suku Rangga dalam pembicaraan dengan Congkasae.com.


    Ia mengatakan selain paling banyak memiliki mendi, orang-orang seperti itu juga paling banyak memiliki istri.


    "Karena siapa yang jago maka dia sesuka hati menjarah orang lain yang lebih lemah, termasuk dalam hal istri siapa yang cantik dia bebas memilih istrinya,"tambahnya.


    Sistem perbudakan semacam itu, kata Lorens Janggu, menjadikan nenek moyang suku Rangga memiliki budak.


    Budak-budak itu harus bekerja bagi tuannya melayani tuannya tanpa pamri, hak dan kemerdekaannya direnggut oleh sang tuan.



    "Tuannya itu bebas memperlakukan budak itu sesuka hatinya termasuk kalau mau jual dia bebas menjualnya kepada siapapun,"tambah Lorens.


    Sistem perbudakan semacam itu terjadi hampir di seluruh wilayah Manggarai kala itu, pasalnya di masa penjajahan belanda daerah Manggarai dijadikan wilayah sumber budak yang dijual ke Batavia (Jakarta saat ini).


    Penulis buku sejarah Jakarta Alwi Shahab mengatakan jika penamaan Manggarai di Jakarta itu memiliki keterkaitan yang sangat erat dengan orang Manggarai di pulau Flores bagian Barat.


    "terutama saat Piter Zoon Konstraat menaklukan Jayakarta sebelum berubah nama menjadi Batavia tahun 1619, kawasan itu merupakan kawasan tak berpenghuni,"tulis Alwi dalam bukunya.


    Sementara untuk membangun Batavia (Jakarta) Belanda memerlukan tenaga kerja, kata Alwi Shahab dalam bukunya.


    Alwi mengatakan untuk itu Piter Zon Constraat lalu memerintahkan pasukannya untuk mendatangkan tawanan perang dan penduduk asli dari Manggarai Flores, Bali, NTB dan Makassar, Benggala dan kepulauan Koromel (India) untuk dijadikan budak pekerja di Batavia.


    "Mereka kemudian dijadikan budak untuk pembangunan benteng, jalan, dan rumah-rumah pejabat Hindia Belanda,"tulis Alwi.


    Seiring berkembangnya bisnis yang dirintis VOC kawasan ini berkembang menjadi lokasi transaksi budak yang didatangkan dari luar Jawa, seperti Bali, Nias, NTB dan NTT.


    Para tentara Belanda dan mitra bisnis perusahaan VOC membutuhkan perempuan yang dijadikan pemuas nafsu mereka, kawasan yang saat ini dinamai kampung Manggarai itupun dijadikan tempat jual beli budak pada saat itu.


    Meski kekuasaan Piter Zon Konstraat berakhir kawasan ini masih dijadikan tempat jual beli budak hingga zaman gubernur Jendral Vann Der Parra.

    Kaum perempuan Manggarai rentan dijadikan budak di masa lampau
    Kaum perempuan Manggarai rentan dijadikan budak di masa lampau


    Adolof Heuken SJ  dalam Historycal Site of Jakarta menulis, akibat tingginya permintaan akan budak perempuan harga beli budak perempuan saat itu menjadi lebih mahal ketimbang budak laki-laki.


    Dan budak-budak itu didatangkan dari berbagai wilayah termasuk dari wilayah Manggarai.


    Di Manggarai sendiri sistem perbudakan semacam itu lazim ditemukan, dengan kondisi yang memprihatinkan dan jauh dari kata perikemanusiaan.


    Siang dan malam budak-budak itu harus bekerja melayani tuannya hanya karena sebuah kekalahan dalam pertarungan atau peperangan.


    "Tidak ada hukum agama, apalagi sanksi hukum waktu itu yang ada hanyalah hukum rimba, dan hukum adat, tapi itupun tidak mengatur soal mendi,"ujar Lorens Janggu salah seorang tokoh adat Suku Rangga di Manggarai Timur.


    Ia mengatakan seorang budak harus bekerja untuk  melayani tuannya sementara sang tuan akan memiliki posisi atau kedudukan sosial jika memiliki budak.


    Pada masa itu kata Lorens, parameter untuk mengukur kekayaan dan status sosial seseorang diukur dari dua hal yakni harta benda dan budak.


    "Siapa yang paling banyak menguasai tanah, paling banyak memiliki hewan peliharaan seperti kerbau, kuda, termasuk yang paling banyak memiliki mendi dialah yang layak dipanggil kraeng,"sebut Lorens.


    Kata kraeng kala itu merujuk pada orang-orang yang memiliki pengaruh dan kedudukan sosial dalam masyarakat.


    "Kraeng itu sangat ditakuti dalam masyarakat, entah karena dia jago berkelahi, atau karena memiliki harta kekayaan yang banyak, jadi orang-orang kraeng itu sangat dihormati,"tambahnya.


    Selain itu mendi kerap kali dijadikan sebagai komoditas transaksional khususnya dalam budaya belis di Manggarai kala itu.


    Tak jarang budak atau mendi kerap kali dijadikan sebagai bagian dari barang berharga yang dibawa ketika hendak meminang seorang gadis.


    "Dalam hal ini kraeng ini juga bisa membawa mendi sebagai belis ketika menikah,"ujar Lorens.


    Meski demikian Mendi dan Kraeng dewasa ini sudah tak lagi santer terdengar dalam struktur sosial masyarakat.


    Sebutan kraeng saat ini merujuk pada teman atau rekan sebaya yang sangat jauh dari kondisi psikologis sosial di masa lampau.


    Tokoh adat Rangga Lorens Janggu menyadari hal itu yang disebutnya akibat perubahan sosial dalam masyarakat moderen.


    "Saat ini kraeng itu sudah tidak ada rasa takutnya di masyarakat, hal ini terjadi akibat kemerdekaan yang kita raih, negara sudah merdeka sistem budak itu otomatis dihapus,"katanya.

    Orang-orang Manggarai saat ini
    Orang-orang Manggarai saat ini


    Hapusnya sistem perbudakan juga berdampak pada budak yang dimiliki nenek moyang suku Rangga.


    Ia menyebut setelah negara merdeka tak ada lagi budak maka budak suku Rangga kala itu diangkat menjadi bagian dari orang Rangga saat ini.


    Di sisi lain kata 'Mendi' yang memiliki konotasi buruk di tengah masyarakat jarang diutarakan dalam pembicaraan harian orang Manggarai.


    Mendi masuk dalam struktur kata yang memiliki posisi yang lebih resmi dalam budaya Manggarai.


    Hal itu terlihat dalam ungkapan go'et torok tae dalam gereja katolik yang menggambarkan hubungan antara Tuhan dan manusia.


    Sementara kata 'Kraeng' mengalami penurununan kasta sosial dari yang dulunya memiliki rasa takut dan struktur kedudukannya sangat tinggi menjadi sebuah ungkapan yang menggambarkan rekan sesama atau rekan sejawat.


    Dua kata ini memiliki perubahan yang sangat signifikan dalam penggunaannya saat ini, meski demikian mendi dan kraeng sama-sama memiliki catatan sejarah di kalangan orang Manggarai masa lampau.


    Laporan ini ditulis dan dikerjakan oleh Antonius Rahu

    Baca Juga Tulisan Serupa dari Antonius Rahu


    Jejak orang Manggarai di Jakarta, Dari Budak Hingga Lahirnya Kampung Manggarai


    Praktik Kawing Tungku di Manggarai dan Bahaya Serius yang Mengintai


    Jurak dalam Hukum Adat Perkawinan Manggarai


    Sistem Perkawinan Lili, Mempersunting Janda Demi Eksistensi Wa'u

    Komentar

    Tampilkan