- -->
  • Jelajahi

    Copyright © Congkasae.com
    Best Viral Premium Blogger Templates

    Iklan

    Polemik Geotermal di Flores, dari Kerusakan Lingkungan Hingga Konflik Sosial

    Penulis: Antonius Rahu | Editor:Tim Redaksi
    30 April, 2025, 15:14 WIB Last Updated 2025-04-30T08:48:09Z
    Post ADS 1
    Post ADS 1

     

    Polemik Geotermal di Flores dari Kerusakan Lingkungan Hingga Konflik Sosial
    Kehadiran proyek Geotermal di pulau Flores menuai polemik di tengah masyarakat, di sisi lain KPKC provinsi SVD Ende menemukan sejumlah kejanggalan dari dua proyek geotermal yang sudah beroperasi yakni PLTP Sokoria dan Mataloko.

    [Congkasae.com/Kereba] Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Provinsi Nusa Tenggara Timur menyerukan sikap penolakan terhadap rencana pemerintah yang akan mengeksploitasi energi panas bumi menjadi energi listrik (proyek geotermal) di pulau Flores.


    Pernyataan penolakan itu menyeruak usai beraudiensi dengan Dirjen Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi (EBTKE) Kementerian ESDM di Gedung Sasando, Kupang, Senin, 28 April 2025.


    Divisi advokasi Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) NTT Gres Gracelia melihat adanya ketidaksesuaian antara kebijakan pemerintah soal energi panas bumi di Flores dengan Rencana Umum Energi Daerah (RUED) Provinsi NTT tahun 2025-2034.


    Dalam RUED itu disebutkan perihal pengembangan energi terbarukan di NTT harus berpatokan pada energi angin, matahari, air dan arus laut.


    “Pemerintah pusat justru memaksakan proyek geotermal yang tidak hanya bertentangan dengan semangat kedaulatan energi daerah, tetapi juga memperuncing ketegangan antara pemerintah daerah dan masyarakat,” kata Gres dikutip Ekora Rabu 30 April 2025.


    Sejak awal perencanaan proyek milik pemerintah tersebut masyarakat yang hidup di sekitar lokasi pertambangan seperti di Poco Leok, Manggarai telah terbelah kedalam dua kubu.


    Kubu yang menentang rencana pengembangan energi panas bumi di Poco Leok telah puluhan kali mengadakan aksi protes kepada pihak terkait yang meminta agar rencana pembangunan energi panas bumi di Poco Leok dihentikan lantaran dikhawatirkan merusak lingkungan.


    Dalam catatan congkasae.com masyarakat yang melakukan aksi penolakan terhadap rencana eksploitasi energi panas bumi di Poco Leok bahkan meminta bank KfW milik pemerintah Jerman yang mendanai proyek itu untuk membatalkan rencananya.


    Dalam demonstrasi terakhir di depan kantor bupati Manggarai, warga yang menolak proyek tersebut meminta bupati Manggarai Hery Nabit untuk mencabut Surat Keputusan (SK) soal penentuan lokasi eksplorasi di Poco Leok.


    Tak tinggal diam masyarakat yang mendukung proyek milik pemerintah itu pun akhirnya turun ke jalan.


    Mereka diantaranya melakukan aksi demo serupa di depan kantor DPRD Manggarai dan kantor bupati Manggarai pada Selasa 22 April 2025.


    Adapun poin tuntutan warga kala itu yakni soal energi panas bumi yang dikembangkan pemerintah akan berdampak pada akses energi listrik bagi warga di pulau Flores.

    cetak baliho sambut baru di Manggarai


    “Masih banyak wilayah di Satar Mese yang belum teraliri listrik. Selain itu, infrastruktur setempat perlu dibangun, dan proyek ini bisa membantu mewujudkannya,” ujar koordinator aksi Raymundus Wajong di Ruteng.


    Terkait dengan masalah itu direktur Advokasi Walhi NTT Gres Gracelia mengatakan pulau Flores masuk dalam zona cincin api (Ring of Fire) itu artinya energi panas bumi memang berkelimpahan akan tetapi akan rawan terhadap kerusakan lingkungan.


    Ia melihat kehadiran proyek geotermal di pulau Flores akan memantik kerentanan ekologis di wilayah tersebut.


    “Kami mencatat bahwa proyek ini telah mengabaikan aspek sosial, budaya, ekologi, dan ekonomi masyarakat lokal,” katanya.


    Ia menyebut kasus di Poco Leok, Kabupaten Manggarai, sebagai contoh konkret. Sejak 1995, PLN telah melakukan aktivitas survei tanpa izin, termasuk tindakan intimidatif dan dugaan pelecehan verbal terhadap warga, serta pembentukan kelompok pro proyek melalui insentif uang dan bantuan ternak.


    “Proyek geotermal ini merusak tanah, air, lingkungan sosial, serta menghambat pertumbuhan ekonomi masyarakat. Dampaknya sudah terlihat jelas di Mataloko, Ulumbu, dan Sokoria,” tegas Gres.


    Penolakan serupa juga disuarakan oleh para uskup di pulau Flores termasuk usukup keuskupan Denpasar Bali dan uskup Ruteng.


    Dalam pernyataan sikapnya yang dikeluarkan pada 31 Maret 2025, terdapat 6 orang uskup di pulau Flores menyatakan sikap penolakan kehadiran proyek geotermal di pulau Flores lantaran dinilai merusak lingkungan, apalagi kondisi bentang alam Flores dengan kekurangan air.


    Uskup Ruteng Mgr Siprianus Hormat ikut menandatangani pernyataan sikap penolakan tersebut dimana salah satu lokasi pengeboran baru proyek geotermal yang digarap PT PLN itu berada di Poco Leok Satar Mese.


    "Kami mengajak seluruh keluarga umat Allah di wilayah Provinsi gerejawi Ende untuk menjaga lingkungan dengan menolak eksploitasi sumber daya yang merusak ekosistem termasuk energi geotermal di Flores,"tulis para uskup.


    Mereka meminta agar PT PLN menggunakan energi surya yang lebih ramah lingkungan untuk menyuplai kebutuhan listrik di pulau Flores ketimbang memaksakan proyek geotermal dengan berbagai macam potensi kerusakan lingkungan.


    Sementara itu Gubernur Nusa Tenggara Timur Melky Laka Lena mengaku sudah membentuk tim khusus yang akan mengkaji soal proyek eksploitasi energi panas bumi di Pulau Flores yang menuai polemik di tengah masyarakat.


    Menurut Melky, tim yang terdiri dari stakeholders terkait seperti perwakilan PLN, tim keuskupan dan LSM yang bakal mengkaji persoalan yang ada.


    “Kami akan membentuk semacam tim kerja yang terdiri dari unsur pemerintah daerah, PLN, pengembang, keuskupan, dan LSM agar PLTP ke depan bisa lebih kokoh dan menjadi contoh pengembangan panas bumi di Indonesia,” tegas gubernur NTT Melky Laka Lena.


    Kekhawatiran akan adanya kerusakan lingkungan akibat aktivitas proyek geotermal di pulau Flores pernah dialami warga desa Sokoria dan Sokoria Selatan, kabupaten Ende.


    Albert Wanda warga desa Sokoria Selatan, kecamatan Ndona Timur, Kabupaten Ende mengakui mata air yang mereka konsumsi terasa berbeda semenjak adanya PLTP Matubusa yang tak jauh dari lokasi mata air.


    “Kalau sebelum ada aktifitas PLTB Mutubusa air yang dikonsumsi warga aman-aman saja namun kali ini semenjak 1 bulan terakhir air rasanya beda dan tidak enak untuk dikosumsi,”kata Albert kepada Pos Kupang.


    Ia mengatakan pihak perusahaan kala itu memberikan air tangki kepada warga atas insiden air minum milik warga itu, sembari mencari lokasi mata air baru bagi mereka.


    Di sisi lain Komisi Keadilan, Perdamaian, dan Keutuhan Ciptaan (KPKC) Provinsi SVD Ende mengkritik keras proyek geotermal yang ada di Mataloko, Kabupaten Ngada, dan Sokoria, Kabupaten Ende.


    KPKC Provinsi SVD Ende juga telah melayangkan surat ke kementrian ESDM yang menyebut bahwa dua proyek geotermal di pulau Flores itu telah gagal memenuhi standar Hak Asasi Manusia.

    Grafis Polemik Kerusakan lingkungan di Flores akibat proyek geotermal


    Dalam menilai gagal dan tidaknya dua proyek itu JPIC SVD Ende dan IFTK Ledalero menggunakan tes Litmus yang mencakup 4 hal yakni tidak membahayakan (do no harm), pengentasan kemiskinan, penghormatan terhadap masyarakat sebagai pemangku hak (people as rights holders), dan keberlanjutan (sustainability).


    “Setelah memperlihatkan dan menganalisis fakta-fakta di atas secara cermat berdasarkan Litmus Test, kami menyimpulkan bahwa proyek-proyek ini telah gagal memenuhi standar hak asasi manusia,” tulis KPKC Provinsi SVD Ende dalam surat tersebut.


    Selain itu KPKC Provinsi SVD Ende menemukan kurangnya keterlibatan masyarakat adat dalam sosialisasi dampak proyek geotermal di Sokoria dan Mataloko.


    Penyusunan Analisis Dampak Lingkungan Hidup (AMDAL) bagi dua proyek tersebut dinilai tidak sesuai prosedur dimana AMDAL baru terbit setelah proyek itu sudah beroperasi.


    Padahal syarat utamanya AMDAL harus diterbitkan sebelum proyek dibangun lantaran dijadikan acuan dalam membangun sebuah proyek besar.


    Selain itu KPKC menemukan adanya dampak sosial yang timbul akibat dua proyek geotermal di Sokoria dan Mataloko dimana terjadinya penurunan kualitas hidup masyarakat sekitar lokasi dan konflik sosial dan rusaknya tatanan komunal di lokasi tersebut.


    BACA JUGA

    Polemik Proyek Geotermal Poco Leok, Masyarakat Terbelah Kedalam Dua Kubu


    Rusaki Lingkungan, Para Uskup di Pulau Flores Sepakat Tolak Proyek Geotermal


    Pro Kontra PLTP Ulumbu, dari Isu Relokasi Warga Hingga Dukungan Pemerintah Jerman


    Bupati Hery Nabit Dihadang Warganya Terkait Proyek Geotermal PLTP Ulumbu

    Komentar

    Tampilkan