- -->
  • Jelajahi

    Copyright © Congkasae.com
    Best Viral Premium Blogger Templates

    Iklan

    Sejarah Perjuangan Motang Rua Melawan Penjajahan Belanda di Manggarai

    Penulis: Antonius Rahu | Editor:Tim Redaksi
    22 April, 2025, 14:00 WIB Last Updated 2025-04-24T01:44:11Z
    Post ADS 1
    Post ADS 1
    Sejarah Perjuangan Motang Rua Mengusir Penjajahan Belanda di Manggarai
    Foto Pahlawan Daerah Manggarai Motang Rua


    Motang Rua merupakan Panglima Perang kerajaan Todo Pongkor yang berjuang melawan Belanda di Manggarai, ia dikenal memiliki ilmu kebal dan strategi perang Grilia yang menyulitkan Belanda. Nama Asli Kraeng Guru Rombo Pongkor Motang Rua, Ame Numpung.


     [Congkasae.com/Sosial Budaya] Nama Motang Rua membumbung tinggi di tengah upaya perlawanannya mempertahankan wilayah kekuasaannya dari gempuran penjajahan Belanda.


    Motang Rua merupakan satu dari sekian banyak pahlawan daerah Manggarai yang tercatat meperjuangkan tanah kelahirannya dari pendudukan Belanda.


    Kisahnya dimulai dari ekspansi wilayah pendudukan Belanda di pulau Flores yang awalnya hanya berpusat di Ende, namun mereka memperluas wilayah pendudukannya hingga Manggarai yang terletak di pulau Flores bagian Barat.


    Pada tahun 1908 para tentara Belanda tiba di Borong, ibu kota kabupaten Manggarai Timur saat ini, kala itu wilayah Manggarai Timur masuk dalam kekuasaan kerajaan Todo.


    Setibanya di Borong para tentara Belanda bergerak menyusuri pantai selatan pulau Flores, dan tibalah mereka di kerajaan Todo yang kala itu menjadi pusat kerajaan paling berpengaruh di Manggarai.


    Dalam proses ekspansi wilayah kekuasaan itu, para tentara Belanda mencari daerah yang akan menjadi pusat pemerintahan Belanda di Manggarai.


    Beberapa daerah yang dijadikan kandidat utama yakni Malawatar Lembor, Cancar dan Puni Ruteng.


    Pada bulan Juli 1909 Belanda bermaksud mendidirikan pusat pemerintahannya di Puni Ruteng, maka segala kebutuhan pembangunan kantor dan rumah belanda itu dibebankan ke masyarakat lokal setempat.


    Maka Belanda memerintahkan seluruh dalu di Manggarai untuk membawa kebutuhan pembangunan pusat pemerintahan Belanda di Puni Ruteng, seperti alang-alang, balok dan keperluan lainnya.


    Perintah untuk membawa alang-alang untuk Belanda ini mendapatkan penolakan dari salah seorang tokoh kepala kampung di Beo Kina.


    Dia adalah seorang komandan perang dari kerajaan Todo Pongkor yang menetap di Beo Kina, namanya Ame Numpung alias Kraeng Guru Rombo Pongkor Motang Rua. Namun belakangan ia lebih dikenal dengan nama Motang Rua.


    Motang Rua yang geram dengan perintah Belanda untuk membangun pusat pemerintahannya di Puni Ruteng lantas memimpin gerakan perlawanan terhadap Belanda, tulis Dami N. Toda dalam bukunya Manggarai Mencari Pencerahan Histografi.


    "Pemicu pertempuran disebabkan Belanda melakukan pelanggaran terhadap kesepakatan perjanjian Borong yang berisi penghormatan terhadap hak Kerajaan Todo-Pongkor selaku penguasa wilayah Manggarai,"tulis Dami N. Toda dalam bukunya.


    Belanda yang awal mula hendak mendirikan pusat kekuasaannya di Todo Pongkor namun ditentang oleh masyarakat dan tokoh kerajaan Todo Pongkor akhirnya mendapatkan persetujuan dari penguasa Todo Pongkor Kraeng Tamur yang hendak mendirikan pusat pemerintahan Belanda di Puni Ruteng.


    Keputusan kraeng Tamur ini ditentang oleh beberapa tokoh kerajaan Todo Pongkor termasuk Motang Rua yang melihat bentuk kesewenang-wenangan pemerintah Belanda terhadap rakyat Manggarai.


    Penolakan paling keras disampaikan Motang Rua setelah Belanda memerintahkan masyarakat di seluruh wilayah kedaluan untuk menyetorkan bahan bangunan berupa alang-alang, ijuk dan balok untuk mendirikan pusat pemerintahan Belanda di Puni.


    Motang Rua yang kala itu memiliki kekuatan kebal dan ilmu bisa menghilang (pepot) pun melarang rakyat di wilayah Beo Kina, Copu dan Kuwu untuk tidak menyetorkan bahan material yang dimintai Belanda.


    Pelarangan itu didukung oleh beberapa wilayah kedaluan di bagian barat termasuk dalu Ndoso yang menguasai sebagian wilayah Manggarai Barat saat ini.


    Willy Grasias salah seorang tokoh yang berasal dari keturunan Motang Rua mengatakan pelarangan terhadap masyarakat untuk menyetorkan bahan bangunan kepada Belanda dibuktikan dengan adanya pembangunan benteng di wilayah Kuwu oleh Motang Rua.


    Benteng itu memboikot suplai material bangunan yang dibawa oleh masyarakat dari kedaluan Ndoso di bagian barat Kuwu termasuk Lelak, Kolang dan Rahong.


    "Belanda kemudian mengirim utusan khususnya untuk menemui Motang Rua namanya Japa Ame Iba,"kata Wily Grasias.


    Namun sayangnya Japa Ame Iba yang diutus Belanda itu memukul salah seorang warga di wae Kang tindakan itu memicu kemarahan dari Motang Rua yang membunuh Japa Ame Iba.


    Belanda kemudian memanggil dalu Pasa namanya Sesa Ame Bembang untuk menyuruh Motang Rua segera menghadap Belanda di Puni Ruteng, namun bukannya menghadap Motang Rua malah menantang Belanda dengan mengatakan bahwa tak akan ada tanah sejengkal pun yang akan diserahkan kepada "ata nggera" si kulit putih Belanda.


    Dami N Toda dalam bukunya menulis Belanda kemudian merespons ucapan Motang Rua itu dengan melakukan gerakan penyerangan kepada Motang Rua tepatnya pada 2 Agustus 1909.


    "10 orang pasukan Belanda tewas dan satu orang dari pihak penyergap berhasil ditumbangkan. Hal ini memicu perang yang lebih besar. Beberapa benteng pasukan Motang Rua di Beo Kina dibakar habis, perlawanan di daerah Copu, Wetik dan Rejing pun dapat dibasmi Belanda,"tulis Dami N. Toda.


    Akibatnya Motang Rua mengubah strategi perangnya dengan teknik grilya ke beberapa wilayah bagian barat dan berpusat di Cunca Wene di Raka Ndoso.


    Strategi Grilya ini memicu beberapa perang melawan Belanda di wilayah itu termasuk perang di Longka Pacar yang menimbulkan jatuhnya korban jiwa dalu Pacar yang bernama Macang Pacar.


    Kepala Macang Pacar kemudian dipenggal Belanda dan dipertontonkan kepada rakyat untuk menimbulkan ketakutan.



    Namun dalam beberapa perang itu Belanda tak dapat menangkap Motang Rua yang memiliki ilmu kebal dan dapat menghilang.


    Menurut Wily Grasias Motang Rua merupakan anak wina dari penguasa kerajaan Todo Pongkor yakni Kraeng Wanggur Laki Tekek Laki Mangir.


    "Ibu dari Motang Rua ini merupakan saudari kandungnya Kraeng Wanggur Laki Tekek Laki Mangir,"kata Wily.


    Belanda yang mengetahui hal itu menggunakan strategi tersendiri dalam upaya menangkap Motang Rua.


    Dami N Toda dalam bukunya menulis Belanda akhirnya menangkap dan menahan Kraeng Adak Todo, Laki Tekek Laki Mangir beserta keluarganya dengan ancaman akan membunuh mereka apabilah Motang Rua tak segera menyerahkan diri.


    Mendengar ancaman itu Kraeng Wanggur Laki Tekek Laki Mangir pun mencari inisiatif untuk mencari Motang Rua.


    Maka diutuslah salah seorang anak dari Kraeng Wanggur Laki Tekek untuk menemui Motang Rua di Ndoso namanya Kraeng Baso.


    Menurut Wily Grasias Kraeng Baso menceriterakan kekejaman penyiksaan keluarganya oleh tentara Belanda.


    Mendengar ceritera itu Motang Rua pun luluh dan menaruh iba terhadap anak ronanya itu.


    Motang Rua lalu menyuruh Kraeng Baso untuk melepaskan ayam jantan putih di Todo Pongkor hal itu dilakukan untuk menghilangkan pengaruh ilmu kebal dan ilmu menghilang dalam diri Motang Rua.


    Motang Rua lalu menyerahkan diri kepada Belanda di Puni Ruteng, ia lalu dibawa ke Ende melalui pelabuhan Reo, sebelum akhirnya dibawah ke Kupang dan ke Makassar untuk diadili oleh Belanda.


    "Dalam proses persidangannya pada tahun 1910 itu Motang Rua dijatuhi hukuman pembuangan ke Batavia,"tulis Dami N Toda. 


    Selanjutnya Motang Rua dipakai Belanda dalam beberapa pertempuran melawan penduduk pribumi seperti perang Aceh yang dipimpin oleh Cut Nyak Dien.


    Namun alih-alih membantu Belanda dalam peperangan itu, Motang Rua justru bersekutu dengan Cut Nyak Dien dalam melawan Belanda dalam peperangan tersebut.


    "Akibatnya Motang Rua kembali dibuang ke Saigon Vietnam,"kata Wily Gracias.


    Di Saigon Vietnam Motang Rua jatuh cinta kepada salah seorang gadis yang merupakan kerabat Belanda.


    Keduanya menikah dan dikaruniai 3 orang anak namanya Nona Koe, Suje dan Guru.


    Motang Rua kembali ke Manggarai pada tahun 1927 kala itu Manggarai dipimpin oleh raja Bagung.


    Hingga akhir hayatnya Motang Rua menaruh dendam pada Belanda, ia bahkan tidak menerima misionaris Belanda yang bertugas di Manggarai.


    Pada tahun 1951 putrinya Nona Koe yang berasal dari Vietnam sempat datang menemui Motang Rua di Beo Kina.


    Ia wafat di Beo Kina pada 27 Maret 1952 dalam usia yang ke 94 tahun. Kisah perjuangannya melawan Belanda kemudian dijadikan nama jalan, nama lapangan termasuk dibuatkan patung di Ruteng.


    Laporan ini dikerjakan oleh Antonius Rahu

    Baca juga tulisan serupa dari Antonius Rahu 

    Mendi Kraeng dan Potret Perbudakan di Tanah Manggarai


    Menakar Fungsi Naga Beo dalam Mitologi Orang Manggarai


    Gerhana Matahari dan Tulah yang Ditanggung Manusia dalam Mitologi Kuno Orang Manggarai


    Jurak dalam Hukum Adat Perkawinan Manggarai

    Komentar

    Tampilkan